Makan Sebelum Lapar, Berhenti Sebelum Kenyang: Konsep Ketahanan Pangan Rasulullah

Oleh: Dr. Tgk. Ismail, S.Sy., M.A (Sekretaris Prodi HKI Pascasarjana UIN Suna Lhokseumawe).

Frasa populer yang sering didengar, "Makan sebelum lapar, berhenti sebelum kenyang," telah lama melekat dalam kesadaran masyarakat Muslim sebagai salah satu ajaran utama Rasulullah SAW mengenai adab makan. Meskipun mayoritas ulama, seperti Syaikh Abdul Aziz bin Baz dan Ibnu Qayyim Al Jauziyyah, menilai sanad hadis ini sebagai dhaif atau lemah, mereka secara luas mengakui bahwa maknanya adalah benar dan sejalan dengan semangat ajaran Islam.

Ajaran ini bukan sekadar tips diet atau nasihat kesehatan pribadi saja, ia adalah pilar penting dari filosofi kehidupan yang lebih besar, yakni moderasi (tawassuth) dan pengelolaan sumber daya. Diletakkan dalam konteks modern, prinsip ini adalah jantung dari model ketahanan pangan yang holistik, berkelanjutan, dan berbasis moral yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Melalui pengaturan perut, Nabi Muhammad SAW sebenarnya sedang mengajarkan pengaturan masyarakat, ekonomi, dan ekologi.

Moderasi Konsumsi: Fondasi Ketahanan Pangan Individual

Inti utama dari "berhenti sebelum kenyang" adalah menjauhi pemborosan atau israf dan kekenyangan yang berlebihan atau syab’ul za’id. Makna ini diperkuat oleh hadis sahih yang jauh lebih fundamental:

Tidaklah anak Adam memenuhi wadah yang lebih buruk dari perut. Cukuplah bagi anak Adam memakan beberapa suapan untuk menegakkan punggungnya. Jika ia harus makan juga, maka sepertiga untuk makanannya, sepertiga untuk minumannya, dan sepertiga lagi untuk napasnya.” (HR. Tirmidzi)

Hadis ini memberikan formula matematis yang jelas untuk menghindari kekenyangan. Secara individu, manfaatnya sangat kentara. Menjaga kesehatan fisik, meningkatkan fokus ibadah dan kerja, serta mencegah timbulnya berbagai penyakit yang berhubungan dengan gaya hidup.

Namun, dalam kacamata ketahanan pangan, dampak dari moderasi konsumsi ini jauh melampaui kesehatan pribadi:

  1. Perlawanan terhadap Budaya Konsumtif

Di era hiper-konsumsi, masyarakat modern didorong untuk selalu merasa kurang dan terus mengisi diri hingga melampaui batas kebutuhan. Anjuran Nabi untuk "berhenti sebelum kenyang" adalah perlawanan moral terhadap budaya ini. Ini menjadi suatu lonceng pengingat bahwa tujuan makan adalah untuk menopang kehidupan (liyuqimna sulbahu), bukan untuk memenuhi nafsu.

  1. Pengurangan Limbah Pangan (Food Waste)

Kekenyangan yang berlebihan seringkali berujung pada sisa makanan yang dibuang. Indonesia, dan banyak negara lain, menghadapi krisis limbah pangan yang serius. Sisa makanan yang berakhir di tempat sampah adalah pemborosan sumber daya alam (air, energi, lahan) dan berkontribusi besar pada emisi gas rumah kaca. Dengan mengontrol porsi dan berhenti sebelum kenyang, setiap individu secara langsung menjadi agen konservasi dan pengurangan food waste.

  1. Pemerataan Akses Pangan

Ketika individu di lapisan masyarakat menengah atas mengonsumsi hingga berlebihan, mereka secara tidak langsung "mengambil" porsi yang seharusnya dapat diakses oleh mereka yang kekurangan. Prinsip tawassuth (moderat) menanamkan rasa empati sosial terhadap sesama. Dengan makan secukupnya, seseorang mengakui bahwa sumber daya pangan adalah amanah yang harus dibagi dan dikelola agar semua orang dapat memperoleh haknya.

Pilar Ketahanan Pangan Komprehensif Ala Rasulullah

Konsep ketahanan pangan dalam Islam jauh lebih luas daripada sekadar adab makan. Ia mencakup seluruh rantai pasok dari produksi hingga distribusi dan manajemen krisis dengan pertimbangan manajemen resiko:

  1. Keutamaan Produksi dan Kemandirian Pangan

Rasulullah SAW sangat menghargai kegiatan bercocok tanam dan usaha mandiri. Beliau bersabda:

Tidaklah seorang hamba memakan makanan yang lebih baik dari apa yang ia makan, yang berasal dari hasil usaha tangannya sendiri. Dan sungguh Nabi Dawud, As., makan dari hasil usaha tangannya sendiri.” (HR. Bukhari)

Hadis lain menguatkan bahwa setiap muslim yang menanam pohon atau tanaman, lalu hasilnya dimakan oleh manusia, binatang, atau burung, maka itu akan menjadi sedekah baginya. Ini adalah dorongan kuat untuk kemandirian pangan di tingkat rumah tangga, lokal, dan nasional. Ketahanan pangan sejati dimulai dari kemampuan menghasilkan, bukan hanya membeli.

  1. Manajemen Krisis dan Stok Pangan

Al-Quran, melalui kisah Nabi Yusuf AS, memberikan model manajemen pangan yang brilian. Perintah untuk menabung hasil panen selama tujuh tahun masa subur sebagai persiapan menghadapi tujuh tahun masa paceklik adalah pelajaran abadi tentang perencanaan jangka panjang, manajemen stok (logistik), dan penghematan. Dalam konteks modern, ini menuntut pemerintah untuk memiliki buffer stock dan kebijakan pangan yang terstruktur untuk menghadapi goncangan ekonomi atau perubahan iklim.

  1. Larangan Penimbunan (Ihtikar) dan Spekulasi

Aspek penting dari ketahanan pangan sosial adalah keadilan distribusi. Islam melarang praktik penimbunan (ihtikar) komoditas pokok, termasuk bahan pangan dengan tujuan menaikkan harga dan mencari keuntungan di atas penderitaan rakyat.

Nabi SAW bersabda, “Tidak ada yang menimbun kecuali orang yang bersalah.” (HR. Muslim).

Larangan ini memastikan bahwa akses pangan tidak didominasi oleh segelintir spekulan, melainkan tersedia dan terjangkau bagi seluruh masyarakat. Ketika harga pangan melonjak akibat penimbunan, yang menderita adalah masyarakat miskin, yang merusak fondasi ketahanan pangan sosial.

Relevansi Abadi untuk Masa Kini

Konsep "Makan sebelum lapar, berhenti sebelum kenyang" adalah gerbang masuk menuju pemahaman yang lebih dalam tentang ketahanan pangan ala Rasulullah SAW. Rasulullah mengajarkan bahwa masalah pangan adalah masalah moral, etika, dan keadilan, bukan semata-mata masalah teknologi atau produksi. Di tengah ancaman perubahan iklim, kenaikan harga komoditas global, dan kesenjangan sosial yang melebar, prinsip-prinsip ini menawarkan solusi yang berkelanjutan: Makan Secukupnya: Mengurangi limbah pangan dan mendorong pemerataan. Menghidupkan Lahan: Mendorong kemandirian dan lokalitas pangan. Keadilan Distribusi: Melarang spekulasi dan penimbunan.

Jika setiap individu, dari rumah tangga hingga pemangku kebijakan, kembali menerapkan semangat tawassuth (moderasi) dalam konsumsi dan mengutamakan kemandirian dalam produksi, maka ketahanan pangan nasional akan tegak di atas fondasi yang kokoh, adil, dan berkah. Sudah saatnya kita menyadari bahwa resep sehat Nabi adalah juga resep untuk menyelamatkan bumi dan masyarakat. Apakah kita siap mengubah kebiasaan makan kita sebagai bentuk tanggung jawab moral dan sosial demi ketahanan pangan masa depan?

Share this Post