Dosen Prodi MES UIN SUNA sebagai Pembicara Panel dalam ACFS ke 9
Lhokseumawe, 29 Juli 2025 — Sebuah capaian membanggakan kembali ditorehkan oleh Program Studi Magister Ekonomi Syariah UIN Sultanah Nahrasiyah Lhokseumawe. Salah satu dosen terbaiknya, Dr. Harjoni, S.Sos.I., M.Si., CPM., yang juga menjabat sebagai Ketua Program Studi, didaulat sebagai pembicara panel dalam forum prestisius Annual Conference on Fatwa MUI Studies (ACFS) ke-9. Forum ini merupakan bagian dari rangkaian peringatan Milad Emas ke-50 Majelis Ulama Indonesia (MUI), yang digelar pada Sabtu–Senin, 26–28 Juli 2025 di Hotel Sari Pacific, Menteng, Jakarta Pusat.
Acara ACFS ke-9 ini mengangkat tema sentral “Peran Fatwa dalam Mewujudkan Kemaslahatan Bangsa”, sebuah topik yang mencerminkan urgensi dan relevansi fatwa sebagai instrumen kebijakan publik keagamaan yang dapat menjawab tantangan zaman.
Menurut Ketua Pelaksana ACFS ke-9, Habib Umar Al Haddad, forum ini menjadi ruang penting untuk melakukan otokritik terhadap fatwa-fatwa MUI serta menyatukan ide-ide segar dari berbagai kalangan. “Melalui kegiatan ACFS ini, MUI yang lahir pada 26 Juli 1975 ingin meneguhkan posisinya sebagai wadah silaturahmi ulama, zuama, dan cendekiawan muslim untuk menyatukan gerak dan langkah-langkah umat Islam Indonesia dalam mewujudkan cita-cita bersama,” ujar Habib Umar dalam sambutannya, Jum’at (25/07/2025).
Dalam proses seleksi yang ketat, ACFS tahun ini menerima sebanyak 204 abstrak, yang kemudian disaring menjadi 125 full paper. Dari jumlah tersebut, hanya 62 pemakalah terpilih yang diundang secara resmi untuk mempresentasikan gagasannya di forum utama. Salah satunya adalah Dr. Harjoni, yang mengangkat topik mutakhir dan sangat relevan dengan dunia keuangan Islam kontemporer, berjudul:
"Ijtihad Maqashidi in Digital Finance: Fatwa Responses to Cryptocurrency, NFTs, and Fintech in Enhancing al-Maslahah al-‘Ammah."
Makalah yang disampaikan Dr. Harjoni menyoroti ledakan perkembangan instrumen keuangan digital seperti cryptocurrency, NFT (Non-Fungible Tokens), dan teknologi finansial (fintech) yang telah menciptakan disrupsi besar terhadap tatanan ekonomi global, termasuk di dalam sistem ekonomi Islam. Ia menekankan bahwa kemunculan teknologi seperti blockchain serta berbagai platform digital memunculkan jenis transaksi baru yang belum sepenuhnya terjawab dalam kerangka fikih klasik.
“Perkembangan ini menuntut adanya panduan keagamaan yang otoritatif berupa fatwa, agar umat Islam mendapatkan kejelasan hukum ketika berinteraksi dengan inovasi finansial digital,” jelas Dr. Harjoni dalam presentasinya.
Menggunakan pendekatan kualitatif berbasis literature review dan document analysis, penelitian Dr. Harjoni menelaah berbagai fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga seperti Dewan Syariah Nasional-MUI (DSN-MUI), Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions (AAOIFI), dan International Fiqh Academy (IFA), serta pendapat para ulama kontemporer.
Analisis tematik dalam makalahnya membedah sejumlah isu kunci dalam hukum Islam seperti gharar (ketidakpastian berlebihan), maysir (spekulasi atau perjudian), keabsahan kepemilikan digital, hingga validitas akad dalam transaksi berbasis teknologi.
Dari hasil kajian, Dr. Harjoni menemukan adanya variasi dan bahkan pertentangan metodologi serta pendapat para ulama dalam menyikapi instrumen-instrumen keuangan baru tersebut. Fatwa terkait cryptocurrency dan NFT umumnya cenderung konservatif dan hati-hati, karena dianggap spekulatif, tidak memiliki nilai intrinsik, serta rentan disalahgunakan. Sebaliknya, inovasi fintech seperti peer-to-peer lending dan crowdfunding relatif lebih diterima asalkan memenuhi prinsip-prinsip syariah seperti keadilan, transparansi, dan anti riba.
Penutup dari makalah ini menyerukan perlunya ijtihad maqashidi atau penalaran hukum yang berbasis pada tujuan-tujuan syariat Islam (maqashid al-shariah), terutama dalam menghadapi disrupsi ekonomi digital yang cepat dan kompleks. Ijtihad jenis ini, menurut Harjoni, dapat menjembatani antara prinsip normatif syariah dengan realitas ekonomi modern demi kemaslahatan publik (al-maslahah al-‘ammah).
Lebih lanjut, ia juga mendorong adanya sinergi antara ulama, regulator, dan pelaku industri keuangan syariah agar dapat mewujudkan ekosistem keuangan Islam yang responsif, inklusif, dan etis di era digital.
Keterlibatan Dr. Harjoni dalam forum tingkat nasional ini menjadi bukti nyata kiprah Prodi Magister Ekonomi Syariah UIN Sultanah Nahrasiyah dalam diskursus intelektual keislaman dan kebijakan publik berbasis fatwa. Ini sekaligus menunjukkan bahwa institusi akademik di luar pusat-pusat utama seperti Jakarta, Yogyakarta, atau Bandung, memiliki kualitas sumber daya manusia yang patut diperhitungkan dalam percaturan keilmuan nasional.
Keikutsertaan ini juga mempertegas komitmen Prodi S2 Ekonomi Syariah UIN Sultanah Nahrasiyah untuk terus berkontribusi secara nyata dalam pengembangan pemikiran ekonomi Islam yang adaptif terhadap zaman, namun tetap berakar kuat pada nilai-nilai maqashid al-shariah.
Kehadiran Dr. Harjoni di ACFS ke-9 tak hanya menjadi simbol prestasi individu, tetapi juga representasi dari kemajuan kolektif dunia akademik Aceh dalam merespon tantangan intelektual global dari perspektif Islam. Sebuah kehormatan yang patut diapresiasi dan menjadi pemicu semangat untuk terus berkarya dan berkontribusi.