Efisiensi untuk Efektivitas: Menata Ulang Arah Pengelolaan Perguruan Tinggi
Oleh: Dr. Fauzan Ahmad Siregar, M.Pd
(Ketua Prodi MPI Pascasarjana UIN Sultanah Nahrasiyah Lhokseumawe)
Saat ini pemerintah sedang menerapkan kebijakan efisiensi yang juga berdampak pada penglolaan berbagai Lembaga pendidikan termasuk perguruan tinggi. Keterbatasan anggaran yang tidak berjalan simultan dengan tuntutan reformasi birokrasi menjadi tantangan tersendiri bagi perguruan tinggi agar tetap sustainable dan berkembang. Hal ini menjadikan pengelola perguruan tinggi perlu menyadari bahwa efisiensi bukanlah pertanda telah bertabuhnya genderang mandeknya kegiatan pengembangan perguruan tinggi. Lebih dari itu, kebijakan efisiensi seharusnya dipandang sebagai strategi manajerial yang bertujuan meningkatkan inovasi dan efektivitas pengelolaan perguruan tinggi dengan cara yang lebih cerdas, adaptif, dan berorientasi hasil.
Sayangnya, di sejumlah institusi, efisiensi masih dipahami sebatas pengurangan anggaran operasional atau pembatasan kegiatan akademik. Padahal, jika diterapkan dengan pendekatan yang bijak, efisiensi justru menjadi jalan menuju tata kelola perguruan tinggi yang lebih sehat dan berdaya saing tinggi.
Manfaat Strategis Efisiensi
Efisiensi dapat mendorong kampus untuk lebih disiplin dalam perencanaan dan pelaksanaan program. Melalui perampingan proses birokrasi dan digitalisasi layanan akademik, perguruan tinggi bisa memangkas waktu, biaya, dan energi untuk hal-hal yang sebelumnya terhambat oleh prosedur administratif yang panjang dan tidak relevan.
Contoh konkret, pemanfaatan teknologi untuk keperluan layanan akademik seperti sistem informasi terpadu, pembelajaran daring, dan digitalisasi arsip telah terbukti memangkas biaya tanpa menurunkan kualitas layanan. Bahkan, dalam banyak kasus, justru meningkatkan produktivitas dosen dan efektivitas kerja unit-unit pendukung.
Lebih jauh, efisiensi mendorong penggunaan anggaran yang lebih terarah. Program yang tidak memberi dampak signifikan bisa direalokasi untuk mendukung pengembangan riset, kolaborasi internasional, atau peningkatan kapasitas SDM.
Risiko dan Antisipasi
Meski demikian, kebijakan efisiensi bukan tanpa risiko. Efisiensi yang dilakukan tanpa perhitungan justru bisa kontraproduktif—misalnya dengan memotong anggaran riset, membatasi rekrutmen dosen, atau mengurangi akses mahasiswa terhadap fasilitas akademik. Hal ini bisa berujung pada penurunan mutu pendidikan, yang tentu saja bertentangan dengan semangat reformasi pendidikan tinggi.
Untuk itu, penting bagi pimpinan perguruan tinggi agar tidak sekadar mengejar efisiensi anggaran, melainkan juga menata ulang strategi kelembagaan secara menyeluruh. Efisiensi harus dijalankan secara berbasis data, berorientasi hasil, dan dengan pendekatan yang partisipatif—melibatkan semua unsur kampus dalam proses perencanaannya.
Kesimpulan: Efisiensi sebagai Pilar Inovasi
Pengelolaan perguruan tinggi yang efektif menuntut tata kelola yang fleksibel namun tetap terukur. Efisiensi bukanlah pemangkasan, melainkan optimalisasi. Ia bukan bentuk penghematan yang kaku, tapi seni menata ulang prioritas demi tercapainya hasil yang lebih besar.
Saat efisiensi dipahami sebagai alat untuk membangun ekosistem pendidikan tinggi yang adaptif, kolaboratif, dan berorientasi mutu, maka sesungguhnya kita sedang melangkah ke arah yang benar. Karena di balik tantangan efisiensi, ada peluang besar untuk memperkuat daya saing dan membangun masa depan perguruan tinggi yang lebih visioner.