Ekonomi Syariah: Besar di Umat, Kecil di Pasar?
Ekonomi Syariah: Besar di Umat, Kecil di Pasar?
Harjoni Desky
Ketua Prodi Ekonomi Syariah UIN Sultanah Nahrasiyah Lhokseumawe
Indonesia dikenal sebagai negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia. Dengan populasi mencapai lebih dari 240 juta jiwa Muslim, semestinya Indonesia menjadi episentrum perkembangan ekonomi dan keuangan syariah global. Namun, realitas di lapangan menunjukkan sebuah paradoks: pangsa pasar ekonomi syariah nasional masih berkisar di angka 7 persen. Angka ini terasa janggal jika dibandingkan dengan potensi umat yang demikian besar. Pertanyaan yang kemudian muncul: mengapa ekonomi syariah yang besar di umat justru kecil di pasar? Apa yang membuat geliatnya masih tertinggal dari potensi yang ada?
Antara Potensi dan Realisasi
Laporan State of the Global Islamic Economy (SGIE) 2024/2025 menempatkan Indonesia dalam jajaran tiga besar negara dengan ekosistem ekonomi Islam global. Akan tetapi, posisi ini lebih banyak ditopang dari sisi konsumsi, bukan produksi. Indonesia masih berperan sebagai pasar besar produk halal dunia, tetapi belum tampil dominan sebagai produsen maupun eksportir utama.
Pakar ekonomi syariah, Irfan Syauqi Beik, bahkan mengingatkan bahwa Indonesia harus berhenti menjadi “penonton” dalam industri halal global. Umat Muslim di negeri ini ibarat pasar raksasa yang siap menerima apa saja, tetapi belum cukup agresif untuk memproduksi dan mengisi kebutuhan pasar internasional.
Di sisi lain, data OJK menunjukkan bahwa penetrasi perbankan syariah, meskipun tumbuh stabil, tetap jauh tertinggal dibanding bank konvensional. Dari total aset perbankan nasional, kontribusi perbankan syariah baru menyentuh angka satu digit. Angka ini jelas kontras dengan Malaysia, negara tetangga yang sudah mampu mendongkrak pangsa pasarnya hingga mendekati 30 persen.
Tantangan Struktural
Mengapa ekonomi syariah sulit menembus pasar? Ada beberapa tantangan struktural yang masih membelenggu.
Pertama, masalah literasi. Survei OJK terbaru mengungkap bahwa literasi keuangan syariah masyarakat Indonesia masih rendah. Banyak masyarakat yang belum memahami perbedaan mendasar antara sistem keuangan syariah dan konvensional. Akibatnya, preferensi penggunaan produk keuangan syariah masih lemah, meski mayoritas beragama Islam.
Kedua, masalah regulasi dan kelembagaan. Regulasi yang ada seringkali bersifat parsial dan belum memberikan level playing field yang adil bagi lembaga keuangan syariah. Kelembagaan ekonomi syariah pun masih terfragmentasi, sehingga tidak memberikan kekuatan kolektif dalam mendorong percepatan.
Ketiga, inovasi produk yang terbatas. Lembaga keuangan syariah seringkali masih bermain aman dengan produk-produk klasik seperti murabahah. Padahal, kebutuhan masyarakat terus berkembang, terutama di era digital. Kurangnya variasi produk menjadikan bank syariah kurang kompetitif dibanding bank konvensional yang lebih agresif menawarkan layanan inovatif.
Keempat, masih minimnya sinergi dengan industri halal. Padahal, industri halal—mulai dari makanan, farmasi, kosmetik, hingga pariwisata—seharusnya menjadi mitra strategis bagi lembaga keuangan syariah. Sinergi yang lemah membuat potensi besar itu belum sepenuhnya terintegrasi ke dalam sistem ekonomi syariah nasional.
Jalan Keluar
Lantas, apa yang harus dilakukan agar ekonomi syariah Indonesia tidak lagi hanya besar di umat, tetapi juga besar di pasar? Ada beberapa langkah strategis yang bisa ditempuh.
Pertama, memperkuat literasi dan edukasi publik. Pemerintah bersama perguruan tinggi, organisasi masyarakat Islam, dan pelaku industri perlu memperluas kampanye literasi keuangan syariah. Literasi bukan sekadar teori, melainkan juga praktik nyata melalui simulasi, pelatihan, dan integrasi dalam kurikulum pendidikan.
Kedua, reformasi regulasi dan kelembagaan. Pemerintah harus berani memberikan afirmasi kepada ekonomi syariah dengan regulasi yang lebih proaktif. Misalnya, insentif pajak bagi UMKM halal, percepatan sertifikasi halal yang ramah pelaku usaha, serta kemudahan bagi bank syariah dalam mengembangkan produk digital.
Ketiga, inovasi produk dan digitalisasi. Lembaga keuangan syariah tidak bisa hanya mengandalkan produk klasik. Mereka harus berani melahirkan produk-produk baru yang relevan dengan kebutuhan zaman, seperti green sukuk, pembiayaan startup halal, hingga crowdfunding syariah berbasis teknologi blockchain.
Keempat, memperkuat sinergi ekosistem halal. Industri halal harus terhubung erat dengan lembaga keuangan syariah, sehingga tercipta rantai nilai yang saling menguatkan. Misalnya, pembiayaan UMKM halal yang mudah diakses, investasi pada pariwisata syariah, serta dukungan modal bagi industri kreatif Muslim.
Kelima, kepemimpinan moral dan teladan elit. Ulama, akademisi, dan tokoh masyarakat perlu menjadi role model dalam menggunakan produk keuangan syariah. Konsistensi elit akan menjadi daya dorong psikologis bagi masyarakat untuk ikut terlibat.
Dari Paradoks ke Arus Utama
Ekonomi syariah di Indonesia sejatinya memiliki peluang besar untuk menjadi arus utama. Potensi umat yang besar adalah modal sosial yang tidak dimiliki banyak negara. Tantangannya adalah bagaimana modal ini diubah menjadi kekuatan pasar yang nyata. Target pangsa pasar 20 persen dalam lima tahun ke depan bukanlah sesuatu yang mustahil, asalkan ada keberanian kolektif untuk melakukan reformasi. Jika Malaysia bisa, mengapa Indonesia tidak?
Pada akhirnya, ekonomi syariah bukan hanya soal angka pertumbuhan. Ia adalah refleksi dari komitmen umat untuk menghadirkan sistem ekonomi yang berkeadilan, berkelanjutan, dan berorientasi pada kemaslahatan. Pertanyaannya tinggal satu: apakah kita mau tetap puas dengan menjadi pasar yang besar bagi produk orang lain, ataukah kita siap menjadi produsen utama yang memimpin pasar global? Dan pilihan itu ada di tangan kita semua.