Ekonomi Syariah untuk Generasi Z: Relevan atau Sekadar Romantisme?
Oleh: Indra, S.E.
Penulis adalah Mahasiswa Magister Ekonomi Syariah UIN Sultanah Nahrasiyah dan Pegawai Bank Indonesia di Kota Lhokseumawe.
Di tengah derasnya arus digitalisasi dan perubahan gaya hidup, muncul satu pertanyaan reflektif: masih relevankah ekonomi syariah bagi Generasi Z, ataukah hanya menjadi romantisme masa lalu yang dibingkai dalam jargon dan seminar? Generasi Z, yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012, tumbuh dalam era media sosial, kecerdasan buatan, dan perubahan nilai yang begitu cepat. Mereka melek teknologi, kritis terhadap institusi, dan menuntut kecepatan, transparansi, serta inklusivitas. Dalam konteks ini, ekonomi syariah menghadapi tantangan dan peluang yang sama besarnya.
Sering kali ekonomi syariah dikampanyekan sebagai sistem alternatif yang adil, berbasis nilai moral dan spiritual. Namun, narasi ini kadang terdengar usang di telinga anak muda yang lebih akrab dengan aplikasi dompet digital, investasi kripto, dan budaya startup. Mereka tak lagi terpesona oleh istilah-istilah Arab atau retorika moral, melainkan bertanya: apa manfaat nyatanya? Apakah ekonomi syariah hanya mengganti bunga dengan istilah “margin” atau “ujrah”, atau benar-benar menawarkan keadilan ekonomi yang substansial?
Ironisnya, promosi ekonomi syariah sering terjebak pada pendekatan normatif dan simbolik. Kita lebih sibuk mem-branding lembaga keuangan dengan nama islami, tetapi lupa membangun sistem yang responsif terhadap kebutuhan generasi baru. Padahal, esensi dari ekonomi syariah adalah menjawab problem ketimpangan, eksploitasi, dan ketidakadilan. Bukankah seharusnya ia menjadi gerakan sosial yang membumi, bukan sekadar institusi formal yang kaku?
Generasi Z adalah generasi yang tumbuh dengan krisis: pandemi, perubahan iklim, dan ketidakpastian ekonomi global. Mereka melihat bahwa sistem kapitalisme konvensional memiliki banyak cacat. Dalam konteks ini, ekonomi syariah sebenarnya punya peluang besar untuk tampil sebagai solusi. Tetapi ini hanya mungkin jika ia mampu melakukan rebranding: dari citra “religi” yang eksklusif menjadi sistem nilai yang inklusif dan solutif. Dengan melihat realitas tersebut, ekonomi syariah harus tampil tidak hanya sebagai sistem keuangan alternatif, tetapi sebagai ekosistem nilai yang menjawab keresahan zaman.
Rebranding ini berarti menyampaikan ekonomi syariah bukan sekadar larangan riba dan kewajiban zakat, tetapi juga sebagai sistem yang memperjuangkan keadilan sosial, keberlanjutan lingkungan, dan kesetaraan akses. Generasi Z tidak cukup diyakinkan dengan dalil dan jargon agama; mereka butuh narasi yang konkret, manfaat yang kasatmata, serta nilai yang bisa mereka perjuangkan. Oleh karena itu, ekonomi syariah harus hadir di ruang-ruang publik yang mereka isi: di media sosial, dalam gerakan wirausaha sosial, di startup teknologi, dan dalam isu-isu yang menyangkut masa depan bumi.
Tiga Langkah Mendesak
Jika ekonomi syariah ingin merebut hati Gen Z, setidaknya ada tiga hal mendesak yang harus dilakukan. Pertama, inovasi digital tak bisa ditawar. Layanan keuangan syariah harus masuk ke ponsel, bukan sekadar ke brosur. Startup fintech syariah perlu didukung oleh kebijakan dan pembiayaan. Negara dan lembaga fatwa harus memberikan ruang eksperimen. Kedua, bahasa dakwah ekonomi syariah harus berubah. Ganti istilah teknis dengan bahasa yang relevan. Jangan lagi bicara soal “ijtihad” tanpa menjelaskan manfaat nyatanya. Edukasi harus berbasis narasi, visual, dan pendekatan psikografis, bukan sekadar teks dan PowerPoint. Ketiga, libatkan anak muda sebagai pelaku, bukan objek. Undang mereka ke ruang desain produk, ke meja pengambilan keputusan, ke arena inovasi. Mereka bukan sekadar target pasar, mereka adalah co-creator masa depan ekonomi syariah.
Ekonomi syariah tidak boleh puas menjadi artefak sejarah atau museum gagasan. Ia harus hadir sebagai sistem yang dinamis, kontekstual, dan mengakar pada realitas zaman. Nilai-nilainya terlalu luhur untuk sekadar dibingkai dalam seminar dan fatwa, tanpa menjejak ke bumi tempat anak muda menatap masa depan. Generasi Z bukan lawan ekonomi syariah. Mereka hanya sedang mencari versi syariah yang lebih sederhana, lebih manusiawi, dan lebih digital.
Kita perlu memahami bahwa Gen Z juga memiliki kepedulian sosial dan lingkungan yang tinggi. Mereka mendukung gerakan ekonomi hijau, ekonomi berbagi (sharing economy), dan praktik bisnis yang berkelanjutan. Di sinilah ekonomi syariah seharusnya bisa masuk dan relevan. Prinsip-prinsip seperti larangan riba, keadilan distributif, dan larangan eksploitasi sangat sejalan dengan etos keberlanjutan dan etika sosial yang mereka anut. Sayangnya, ini belum dikomunikasikan dengan baik oleh para pelaku ekonomi syariah.
Hal lain yang perlu ditekankan adalah peran pendidikan tinggi dalam menjembatani ekonomi syariah dengan generasi muda. Banyak program studi ekonomi syariah masih terpaku pada kurikulum lama dan metode pengajaran yang tidak adaptif. Kampus dan lembaga pendidikan Islam harus menjadi laboratorium inovasi, bukan menara gading. Mereka harus aktif mengembangkan inkubasi bisnis syariah, mengintegrasikan teknologi ke dalam pembelajaran, dan membangun jejaring global agar mahasiswa ekonomi syariah punya kompetensi abad ke-21.
Penting pula ditekankan bahwa ekonomi syariah bukan hanya urusan bank dan perbankan. Ia mencakup sektor riil, koperasi, wakaf produktif, zakat digital, bahkan ekonomi kreatif berbasis nilai-nilai Islam. Membatasi ekonomi syariah pada lembaga keuangan formal justru mempersempit potensinya. Banyak Gen Z yang ingin berwirausaha dengan pendekatan etis dan berdampak sosial. Ekonomi syariah harus hadir dalam ruang-ruang ini dengan pendekatan yang lentur, bukan menggurui.
Di sinilah kolaborasi lintas sektor menjadi penting. Pemerintah, lembaga fatwa, kampus, startup, hingga komunitas muda perlu duduk bersama menyusun agenda ekonomi syariah yang relevan. Jangan lagi ada dikotomi antara “yang syar’i” dan “yang modern”. Sudah saatnya kita membangun ekosistem ekonomi syariah yang progresif, inklusif, dan digital-native.
Kita juga tidak bisa menutup mata bahwa sebagian Gen Z merasa alergi dengan simbolisasi agama yang berlebihan. Bagi mereka, keadilan dan kebermanfaatan lebih penting daripada label. Oleh karena itu, pendekatan yang terlalu normatif tanpa nilai praktis hanya akan menciptakan jarak. Ekonomi syariah harus hadir sebagai solusi, bukan simbol. Ia harus mampu menjawab pertanyaan praktis: bagaimana mendapatkan rumah tanpa riba? Bagaimana memulai usaha dengan sistem yang adil? Bagaimana menabung dengan prinsip syariah tanpa ribet?
Menutup tulisan ini, kita perlu kembali bertanya: apakah ekonomi syariah akan terus hidup dalam romantisme masa lalu, ataukah bertransformasi menjadi kekuatan yang menjawab keresahan dan harapan generasi baru? Jawabannya ada pada kemauan kita untuk berubah. Bukan mengubah nilai, tetapi cara kita menyampaikan, membangun, dan menghidupkan nilai-nilai itu dalam dunia nyata. Generasi Z tidak anti syariah. Mereka hanya butuh versi syariah yang lebih otentik, relevan, dan dekat dengan kehidupan mereka sehari-hari.