Green Finance ala Syariah: Menyatukan Ekonomi, Lingkungan, dan Etika
Pagi itu di sebuah pesantren modern di Banda Aceh, para santri berdiskusi tentang perubahan iklim dan dampaknya terhadap masyarakat desa. Bukan sekadar wacana akademik, diskusi itu merujuk langsung pada proyek pembangkit listrik tenaga surya yang baru saja diresmikan oleh yayasan pesantren. Menariknya, proyek ini tidak didanai oleh lembaga komersial biasa, melainkan dari dana wakaf produktif berbasis syariah. Inilah wajah baru dari gerakan ekonomi hijau—atau yang dikenal sebagai green finance—dalam perspektif Islam.
Krisis iklim bukan lagi sekadar isu lingkungan, tetapi sudah menjadi krisis ekonomi. Laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) 2023 memperingatkan bahwa pemanasan global telah menciptakan ketidakpastian ekonomi yang merata, terutama bagi negara berkembang. Kerugian ekonomi akibat bencana alam yang diperparah oleh perubahan iklim mencapai USD 275 miliar pada tahun 2022 menurut Munich Re, perusahaan reasuransi global.
Di tengah kegelisahan ini, banyak negara mulai mengarahkan kebijakan fiskal dan moneter ke arah keuangan berkelanjutan. Inilah yang disebut dengan green finance—pembiayaan yang berorientasi pada pelestarian lingkungan, pengurangan karbon, dan pembangunan berkelanjutan. Tetapi, pertanyaannya: apakah cukup hanya mengandalkan instrumen keuangan konvensional tanpa dimensi moral?
Etika Syariah dan Orientasi Nilai
Di sinilah ekonomi syariah mengambil peran penting. Dalam Islam, transaksi ekonomi tidak sekadar soal untung-rugi, tetapi juga halal-haram, maslahat-mudharat, serta tanggung jawab terhadap ciptaan Tuhan. Prinsip Maqashid al-Shariah atau tujuan syariat meletakkan perlindungan terhadap kehidupan (hifz al-nafs), harta (hifz al-mal), dan lingkungan sebagai bagian dari nilai-nilai utama.
Pendekatan ini menghadirkan paradigma baru: green finance ala syariah—sebuah kerangka pembiayaan berkelanjutan yang bukan hanya hijau secara teknis, tetapi juga etis secara spiritual. Dalam kerangka ini, keberlanjutan bukanlah strategi bisnis semata, melainkan amanah ilahiyah. Islam memiliki instrumen keuangan unik yang kompatibel dengan prinsip keberlanjutan. Salah satunya adalah sukuk hijau (green sukuk). Indonesia menjadi negara pertama di dunia yang menerbitkan green sukuk berbasis syariah pada tahun 2018, dengan nilai USD 1.25 miliar. Dana tersebut digunakan untuk proyek energi terbarukan, transportasi hijau, dan pengelolaan air bersih.
Selain itu, instrumen seperti zakat, infak, dan wakaf—jika dikembangkan dengan pendekatan produktif dan terukur—dapat menjadi sumber daya besar dalam mendanai program adaptasi iklim, pertanian organik, hingga restorasi ekosistem. Menurut data Badan Wakaf Indonesia, potensi wakaf nasional mencapai Rp 180 triliun per tahun, namun yang termanfaatkan baru di bawah 5 persen.
Masalah Etika di Balik Greenwashing
Namun, bukan berarti semua proyek green finance bebas dari masalah. Salah satu kritik tajam terhadap green finance konvensional adalah praktik greenwashing, yaitu pencitraan hijau oleh perusahaan tanpa komitmen nyata terhadap keberlanjutan. Banyak lembaga keuangan yang melabeli produknya sebagai “green”, namun tetap mendanai proyek yang merusak lingkungan.
Model syariah, jika diterapkan secara konsisten, menawarkan sistem pengawasan ganda: tidak hanya dari sisi teknis dan pasar, tetapi juga dari sisi kepatuhan terhadap nilai-nilai syariah. Dewan Pengawas Syariah (DPS) di lembaga keuangan syariah memiliki otoritas moral yang dapat menjadi pelindung dari praktik greenwashing. Salah satu keunggulan pendekatan syariah adalah keterlibatannya yang kuat dengan komunitas. Berbagai koperasi syariah, Baitul Maal wat Tamwil (BMT), hingga pesantren telah menjadi pionir dalam mengembangkan ekonomi hijau berbasis masyarakat.
Contoh sukses dapat dilihat pada program Eco-Pesantren yang digagas di beberapa wilayah Jawa Barat, yang menggabungkan prinsip-prinsip fiqih lingkungan, energi terbarukan, serta kewirausahaan syariah. Program ini mengubah cara pandang masyarakat terhadap ekonomi: dari konsumsi eksploitatif menjadi produksi kolaboratif yang lestari.
Pemerintah Indonesia, melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK), telah menerbitkan Roadmap Keuangan Berkelanjutan 2021–2025 yang membuka ruang besar bagi integrasi keuangan syariah dalam inisiatif hijau. Namun, tantangan tetap ada, mulai dari rendahnya literasi keuangan hijau berbasis syariah, minimnya produk investasi hijau yang berbasis syariah di pasar modal, hingga keraguan investor karena belum adanya standar fatwa yang komprehensif untuk green finance.
Di sinilah diperlukan sinergi antara otoritas syariah (seperti DSN-MUI), regulator keuangan, dan praktisi pasar untuk menciptakan ekosistem yang seimbang antara profit, planet, dan prinsip. Lebih jauh, ekonomi syariah memberikan kerangka spiritual yang kuat dalam memahami hubungan manusia dengan alam. Dalam QS. Al-A’raf ayat 31, Allah mengingatkan agar manusia tidak berlebih-lebihan karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebihan. Ayat ini bukan sekadar nasihat moral, tetapi prinsip ekonomi ekologis yang sangat relevan dalam konteks krisis iklim. Spirit ini menempatkan green finance ala syariah bukan hanya sebagai alat pembangunan, tetapi juga sebagai sarana tazkiyah—penyucian harta dan jiwa. Maka, investasi hijau bukan sekadar tren, tetapi bagian dari ibadah yang menyeluruh.
Menyemai Etika di Tengah Krisis
Ketika dunia mencari model ekonomi baru yang lebih adil, berkelanjutan, dan bermakna, ekonomi syariah menawarkan bukan sekadar sistem keuangan bebas riba, tetapi visi peradaban: menyatukan ekonomi, lingkungan, dan etika dalam satu kesatuan harmonis. Green finance ala syariah bukanlah ilusi, tetapi sebuah keniscayaan yang sedang bertunas. Dan seperti pohon yang kokoh, ia butuh akar yang kuat (nilai-nilai spiritual), batang yang tegak (dukungan kebijakan), dan daun yang rindang (partisipasi masyarakat). Kini, tinggal kita memilih: ikut menyiram atau membiarkannya layu dalam jargon.
Namun, menyiram pohon itu membutuhkan keberanian lintas sektor. Para pemimpin lembaga keuangan syariah harus mulai membongkar tembok konservatisme dalam inovasi produk dan mulai merancang instrumen pembiayaan hijau yang benar-benar inklusif. Di sisi lain, lembaga pendidikan Islam mesti memperbarui kurikulumnya agar isu lingkungan bukan hanya dibahas dalam fikih ibadah, tapi juga dalam konteks manajemen sumber daya alam dan keuangan etis. Ini bukan soal pilihan sektoral, melainkan tanggung jawab kolektif untuk membangun sistem ekonomi yang berakar pada tauhid, berpucuk pada keberlanjutan.
Karena pada akhirnya, ekonomi syariah bukan sekadar sistem transaksi, tetapi cara pandang hidup yang menolak pemisahan antara iman, akhlak, dan aktivitas ekonomi. Green finance dalam bingkai syariah menawarkan etika ekologis yang lahir dari kesadaran spiritual, bukan sekadar strategi komersial. Maka, ketika umat Islam bicara tentang pembangunan, semestinya yang dibangun bukan hanya gedung dan angka pertumbuhan, tetapi juga harmoni antara manusia, alam, dan Tuhan. Inilah peradaban yang harus terus diperjuangkan. Semoga.
Penulis adalah Mahasiswa Magister Ekonomi Syariah UIN Sultanah Nahrasiyah Lhokseumawe