Integrasi Sains dan Pendidikan Islam: Membangun Generasi Ulul Albab di Era Modern

Oleh: Samhudi - Dosen FTIK/Mahasiswa Program Doktor Studi Islam

Pascasarjana UIN-SUNA Lhokseumawe

Pendidikan Islam selalu memegang peran penting dalam membentuk peradaban umat. Sejarah mencatat, pendidikan Islam tidak hanya berfokus pada ilmu-ilmu agama, tetapi juga merangkul pengetahuan alam, filsafat, kedokteran, astronomi, matematika, hingga teknologi. Dengan demikian, sains dan pendidikan Islam sejatinya tidak pernah berada dalam posisi yang bertentangan. Keduanya berpijak pada semangat pencarian kebenaran dan pengembangan potensi manusia demi kemaslahatan. Namun, dalam realitas pendidikan modern, masih sering terjadi dikotomi antara ilmu agama dan sains, sehingga melemahkan upaya integrasi keduanya. Padahal, integrasi ini sangat penting agar generasi yang lahir tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga berkarakter dan berakhlak mulia.

Landasan Teologis Integrasi Sains dan Islam

Landasan teologis integrasi sains dalam pendidikan Islam bersumber langsung dari Al-Qur’an dan hadis. Al-Qur’an berulang kali mengajak manusia untuk berpikir, merenung, serta mengamati fenomena alam sebagai tanda kebesaran Allah. Dalam QS. Al-‘Alaq (96): 1–5, Allah memerintahkan: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah, yang mengajar (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.” Ayat ini menegaskan pentingnya membaca, meneliti, dan mencari ilmu sebagai bagian dari ibadah.

Demikian pula sabda Nabi Muhammad SAW: “Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap Muslim” (HR. Ibnu Majah). Hadis ini tidak membatasi jenis ilmu, melainkan mencakup agama maupun sains, selama membawa manfaat bagi umat.

 Pandangan Epistemologis Islam tentang Ilmu

Dalam perspektif epistemologi, Islam memandang ilmu sebagai satu kesatuan yang bersumber dari Allah Swt. Konsep tauhid menegaskan bahwa tidak ada pemisahan antara ilmu agama dan sains. Keduanya lahir dari sumber kebenaran yang sama. Tokoh-tokoh klasik seperti Al-Farabi, Ibn Sina, dan Al-Biruni menjadi bukti nyata keberhasilan integrasi ilmu agama dan sains. Pada masa keemasan Islam (abad ke-8–14), madrasah dan bait al-hikmah menjadi pusat pembelajaran multidisipliner. Di sana, Al-Qur’an diajarkan seiring dengan matematika, astronomi, kedokteran, dan filsafat. Model pendidikan ini melahirkan ulama sekaligus ilmuwan, yang hingga kini masih dikenang kontribusinya dalam peradaban dunia.

 Pemikiran Kontemporer

Di era modern, gagasan integrasi ilmu semakin ditegaskan oleh pemikir seperti Prof. Alparslan Açıkgenç yang dikenal sebagai salah satu filsuf dan pemikir Muslim kontemporer aktif sebagai dosen dan peneliti di Ibn Haldun University. Ia berpendapat bahwa setiap peradaban memiliki kerangka konseptual yang membentuk cara pandang masyarakat terhadap realitas. Bagi Islam, kerangka itu berakar pada wahyu, sehingga seluruh pengetahuan, baik hasil observasi ilmiah maupun bersumber dari Al-Qur’an dan hadis, harus berada dalam bingkai tauhid.

Dalam bukunya Islamic Science: Towards a Definition (2014), Açıkgenç menyoroti krisis ilmu di dunia Muslim yang disebabkan oleh terputusnya hubungan antara sains dan kerangka epistemik Islam. Ia mengkritik adopsi paradigma Barat yang positivistik—memisahkan fakta empiris dari nilai moral—dan menyerukan pembaruan epistemologi Islam. Baginya, integrasi ilmu bukan sekadar mencampuradukkan sains dan agama, tetapi menata seluruh pengetahuan dalam satu pandangan hidup Islami (Islamic worldview). Dengan perspektif ini, mempelajari fisika berarti menyadari keteraturan ciptaan Allah, menekuni biologi berarti menyingkap kebijaksanaan-Nya, dan meneliti astronomi berarti mengagumi kebesaran-Nya di jagat raya.

Pemikir lain, Syed Muhammad Naquib al-Attas, menekankan pentingnya Islamisasi ilmu pengetahuan, yaitu menempatkan ilmu modern dalam kerangka pandangan hidup Islam. Menurutnya, problem utama pendidikan Muslim adalah hilangnya adab (loss of adab), yakni kekeliruan menempatkan kedudukan ilmu dalam diri manusia. Tanpa adab, ilmu bisa berubah menjadi alat dominasi atau bahkan kerusakan. Karena itu, integrasi sains dalam pendidikan Islam harus dimulai dengan pemurnian konsep ilmu agar selaras dengan worldview Islam.

 Implementasi di Lembaga Pendidikan Islam Indonesia

Di Indonesia, upaya integrasi sudah mulai tampak di beberapa lembaga pendidikan Islam. Sejumlah pesantren modern, misalnya, mengembangkan kurikulum yang mengajarkan tafsir, hadis, dan fikih berdampingan dengan fisika, biologi, dan kimia secara integratif. Dalam pembelajaran biologi, guru menjelaskan sistem pernapasan manusia sambil mengaitkan dengan QS. Al-Mu’minun (23): 12–14 yang menggambarkan proses penciptaan manusia. Pendekatan ini tidak hanya memperkaya pengetahuan ilmiah, tetapi juga menumbuhkan rasa syukur dan takjub kepada Sang Pencipta.

Tantangan Integrasi

Meski penting, integrasi sains dan pendidikan Islam menghadapi sejumlah kendala. Pertama, masih adanya dikotomi kurikulum antara ilmu agama dan ilmu umum. Kedua, keterbatasan guru yang mampu mengajarkan sains dari perspektif Islam. Ketiga, minimnya buku ajar integratif. Keempat, kuatnya dominasi paradigma sains sekuler yang cenderung materialistik. Kelima, derasnya arus globalisasi yang sering mengabaikan aspek moral dan spiritual pendidikan.

Strategi Pengembangan

Untuk menjawab tantangan tersebut, perlu strategi komprehensif: Pertama, mengembangkan kurikulum integratif berbasis tauhid. Kedua, melatih guru agar mampu mengaitkan materi sains dengan ayat-ayat kauniyah. Ketiga, menyusun buku ajar integratif dengan melibatkan ulama, ilmuwan, dan pendidik. Keempat, melakukan penelitian pengembangan model pembelajaran yang relevan secara lokal maupun global. Kelima, membangun jejaring kerja sama antar lembaga pendidikan Islam untuk berbagi praktik terbaik.

Jika langkah-langkah ini dijalankan, pendidikan Islam akan melahirkan generasi yang menguasai ilmu pengetahuan modern sekaligus memiliki kesadaran etis dan tanggung jawab moral. Generasi ulul albab—yang memadukan akal, hati, dan amal—akan menjadi nyata. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Ali ‘Imran (3): 190–191, berpikir ilmiah dan berzikir harus berjalan beriringan sebagai ciri orang berakal.

Penutup

Integrasi sains dan pendidikan Islam bukan sekadar persoalan kurikulum, melainkan paradigma peradaban. Sejarah Islam telah membuktikan keberhasilan model integratif dalam melahirkan ilmuwan sekaligus ulama. Pemikiran kontemporer, seperti yang ditawarkan Prof. Alparslan Açıkgenç dan Syed Naquib al-Attas, memberi pijakan konseptual untuk menghidupkan kembali paradigma ini di era modern. Tantangannya memang besar, tetapi peluangnya juga luas jika semua pihak—pemerintah, pendidik, masyarakat, orangtua, hingga peserta didik—bergerak bersama.

Wallāhu a‘lam biṣ ṣawāb.

Share this Post