Judicata Pro Veritate Habitur

Dr. Mahdi Abdullah Syihab, SH., MH

Ketua Program Studi Hukum Keluarga Islam Pascasarjana

Universitas Islam Negeri Sulthanah Nahrasiyah Lhokseumawe, Aceh

Email : mahdi.syihab@uinsuna.ac.id

Judul di atas sengaja ditulis dalam bahasa latin untuk menggambarkan peristiwa hukum  tentang proses peradilan yang dihadapi oleh Tom Lembong, mantan Menteri Perdagangan era pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Hasto Kristiyanto, Sekretaris Jendral Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) pada perkara tindak pidana korupsi, yaitu suatu tindakan melawan hukum yang dilakukan oleh seseorang, biasanya pejabat publik atau seseorag yang memiliki kekuasaan yang menyalahgunakan wewenang jabatannya untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain dan merugikan keuangan atau ekonomi negara. Kedua perkara tersebut sudah memiliki kekuatan hukum tetap atau inkrah pada pengadilan tingkat pertama. Hakim Tindak Pidana Korupsi Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memvonis Tom Lembong 4 Tahun 6 Bulan penjara, sementara hakim Tindak Pidana Korupsi Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menghukuman Hasto Kristiyanto dengan hukuman penjara 3 Tahun 6 Bulan.

Vonis hakim Tindak Pidana Korupsi ini tentu saja menimbulkan reaksi negatif di tengah masyarakat yang secara khusus terus mencermati proses persidangan dari awal hingga putusan hakim. Reaksi negatif ini muncul terutama dikalangan pakar hukum, sebut saja misalnya Mahfud MD, Rocki Gerung, Hotman Paris. Mereka menilai bahwa putusan hakim terhadap kedua tokoh publik tersebut tidak memenuhi unsur-unsurr untuk dapat dituduh sebagai pelaku korupsi. Secara regulasi, seseorang dapat dituduh melakukan tindakan korupsi harus memenuhi unsur-unsur sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 2 dan Pasal 3. Unsur pertama adalah adanya pelaku atau unsur subjektif, yaitu setiap oaring baik individu maupun korporasi, penyelenggara negara, baik pejabat maupun pegawai negeri sipil serta memiliki niat atau mens rea untuk melakukan perbuatan melawan hukum. Unsur kedua adalah adanya perbuatan melawan hukum atau lebih dikenal dengan istilah unsur objektif, yaitu berupa tindakan atau perbuatanyang dapat dikategorikan sebagai perbuatan korupsi. Perbuatan atau tindakan korupsi ini berakibat dapat merugikan keuangan negara atau merugikan perekonomian negara. Pada aspek ini hatus memuat unsur perbuatan melawan hukum baik tertulis maupun tidak tertulis, kemudian ada unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, dan unsur menyalahgunakan kewenangan dan unsur ini biasanya dilakukan oleh penyelenggara negara atau pegawai negeri sipil dengan tujuan untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi. Adapun unsur yang ketiga adalah unsur kerugian negara. Unsur kerugian negara harus dapat dibuktikan secara defacto atau nyata bahwa negara telah dirugikan dan biasanya dibuktikan melalui Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau lembaga resmi lainnya.

Meskipun demikian, hakim tindak pidana korupsi tetap menghukum kedua tokoh public tersebut, tentu dengan alasan pertimbangan hukum atau overwegingen van de rechter, karena salah satunya adalah memprioritaskan system ekonomi kapitalis daripada system ekonomi Pancasila dan demokrasi ekonomi untuk Tom Lembong dan karena salah atas dugaan melakukan suap dan tak terbukti melakukan perintangan penyidikan atau obstruction of justice. Ketegasan hakim dalam menghukum boleh jadi karena dipengaruhi oleh prinsip Judicata Pro Veritate Habitur, yaitu suatu prinsip yang menegaskan bahwa keputusan hakim adalah benar, meskipun secara factual bisa saja berbeda, namun putusan itu tetap mengikat atau inkracht. Adapun tujuan dan konsekuensi dari prinsio ini adalah untuk mengakhiri suatu sengketa hukum secara final, mengikat para pihak dan menjadi dasar eksekusi. Namun demikian, untuk melawan prinsip bahwa putusan hakim yang telah berkuatan hukum tetap dan dianggap sebagai kebenaran hukum, dapat dilakukan dengan mengajukan Banding yaitu suatu upaya hukum biasa yang diajukan oleh satu pihak baik dalam perkara pidana maupun perdata kepada Pengadilan Tinggi Negeri untuk memeriksa ulang dan menilai fakta dan hukum dari putusan sebelumnya serta membatalkan demi hukum putusan hakim sebelumnya. Atau jika tidak puas dengan putusan hakim Banding, dapat juga dengan menempuh jalur hukum Kasasi, yaitu suatu upaya hukum yang dilakukan dengan mengajukan permohonan ke Mahkamah Agung untuk memeriksa terhadap keputusan pengadilan tingkat Banding atau langsung keputusan pengadilan tingkat pertama dalam kasus tertentu. Atau bisa juga Peninjauan Kembali, yaitu suatu upaya hukum luar biasa yang diajukan ke Mahkamah Agung karena ditemukan adanya a;asan khusus yang memungkinkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap atau inkracht dikoreksi atau dibatalkan demi hukum oleh Mahkamah Agung.

Share this Post