Maqashid Syariah dan Green Economy: Fondasi Baru Pembangunan Berkelanjutan

Windatria

Penulis adalah Mahasiswi Magister Ekonomi Syariah UIN Sultanah Nahrasiyah Lhokseumawe

Di tengah semakin nyata dampak perubahan iklim, mulai dari krisis air bersih, gagal panen, hingga bencana ekologis, umat manusia diingatkan kembali bahwa bumi bukanlah milik mutlak manusia. Ia adalah amanah Allah yang harus dijaga dengan penuh tanggung jawab. Dalam perspektif Islam, konsep ini tertuang jelas dalam maqashid syariah—tujuan-tujuan luhur syariat yang menekankan kemaslahatan, keadilan, dan keberlanjutan hidup.

Jika dikaitkan dengan ekonomi modern, maka “green economy” atau ekonomi hijau menjadi salah satu jembatan aktualisasi maqashid syariah di era sekarang. Pertanyaannya, bagaimana maqashid syariah dapat menjadi fondasi bagi pembangunan berkelanjutan melalui pendekatan green economy?

Ekonomi syariah dan amanah ekologis

Islam memandang manusia sebagai khalifah di bumi (QS. Al-Baqarah: 30). Peran khalifah bukan sekadar mengelola sumber daya untuk keuntungan, tetapi juga memastikan kelestarian agar generasi mendatang tetap bisa menikmatinya. Di sinilah maqashid syariah hadir sebagai panduan. Tujuan menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta tidak bisa dilepaskan dari kelestarian lingkungan. Bagaimana mungkin menjaga jiwa dan keturunan, jika udara penuh polusi, air tercemar, dan pangan kian langka akibat eksploitasi berlebihan?

Ekonomi syariah, dengan prinsip keadilan dan keberlanjutan, sejatinya mengandung spirit green economy. Instrumen keuangan syariah seperti sukuk hijau (green sukuk), pembiayaan mikro ramah lingkungan, hingga zakat produktif, semua dapat diarahkan untuk mendukung pembangunan yang rendah emisi dan pro-lingkungan.

Green economy sebagai jalan maslahah

Konsep green economy menekankan efisiensi sumber daya, energi terbarukan, dan pola konsumsi-produksi yang berkelanjutan. Nilai ini selaras dengan maqashid syariah. Dalam Islam, israf (berlebihan) dilarang keras. Konsumsi berlebih bukan hanya merusak individu, tetapi juga lingkungan. Green economy memberi tawaran konkret agar produksi tetap tumbuh, tapi dengan menjaga keseimbangan ekosistem.

Sebagai contoh, penerapan pertanian organik berbasis syariah bukan hanya menjaga kesehatan konsumen, tetapi juga mengurangi kerusakan tanah akibat pupuk kimia. Industri halal berbasis energi bersih bisa menjadi keunggulan kompetitif di pasar global, sekaligus bukti bahwa ekonomi syariah mampu menjawab tantangan zaman.

Pemikir Muslim kontemporer Seyyed Hossein Nasr pernah menegaskan bahwa krisis ekologi adalah akibat dari terputusnya manusia dengan dimensi spiritual alam. Menurutnya, manusia modern menganggap alam sebagai objek eksploitasi, bukan ayat-ayat Tuhan yang harus dihormati. Pandangan ini sejalan dengan maqashid syariah, yang mengajarkan bahwa kemaslahatan sejati hanya tercapai bila ada harmoni antara manusia, alam, dan Sang Pencipta.

Fondasi baru pembangunan berkelanjutan

Indonesia, dengan kekayaan alam dan populasi Muslim terbesar di dunia, memiliki modal besar untuk memimpin praktik green economy berbasis maqashid syariah. Namun, jalan ini tidak mudah. Masih banyak kebijakan ekonomi yang lebih berpihak pada eksploitasi sumber daya daripada konservasi. Padahal, Islam menekankan prinsip keadilan antar-generasi: generasi sekarang tidak boleh mengorbankan hak generasi mendatang hanya demi pertumbuhan sesaat.

Maka, pembangunan berkelanjutan harus ditopang dua fondasi:

  1. Maqashid syariah sebagai kerangka etis dan spiritual yang menuntun manusia pada kesadaran bahwa menjaga lingkungan adalah bagian dari ibadah.
  2. Green economy sebagai strategi praktis yang mengintegrasikan nilai religius ke dalam kebijakan ekonomi dan teknologi modern.

Refleksi kemerdekaan ekologis

Delapan dekade setelah Indonesia merdeka, kita perlu merenungkan: apakah bangsa ini sudah benar-benar merdeka secara ekologis? Kemerdekaan politik memang telah diraih, tetapi kita masih bergantung pada energi fosil, masih akrab dengan deforestasi, dan masih menghadapi sampah plastik yang menggunung.

Kemerdekaan sejati adalah kebebasan dari belenggu kerusakan lingkungan, yang membuat manusia justru terjajah oleh bencana. Di sinilah maqashid syariah memberi arah: membangun ekonomi yang bukan hanya mengejar pertumbuhan, tetapi juga keberlanjutan.

Seperti doa para jamaah haji di padang Arafah, semoga bangsa ini diberi kekuatan untuk menjaga bumi sebagai rumah bersama, dengan iman, keadilan, dan kesadaran ekologis. Sebab menjaga lingkungan bukan sekadar tuntutan global, tetapi bagian dari amanah syariah yang harus kita tunaikan.

Share this Post