Saat Guru Didenda Oleh Wali Murid

Dr. Mahdi Abdullah Syihab, SH, MH

Staf Pengajar pada Fakultas Syariah UIN Sulthanah Nahrasiyah Lhokseumawe

Ada perubahan perilaku yang muncul disebagian masyarakat kita dalam mengahadapi masaalh pola didik yang di praktekkan guru terhadap peserta didik. Guru adalah orang dengan pengalaman ilmu siap memberikan pengalaman ilmu pengetahuannya kepada peserta didik dengan berbagai metode agar memudahkan bagi peserta didik untuk menyerap, mendengar, memahami, menulis dan kemudian diparaktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Mentransfer suatu ilmu pengetahuan kepada peserta didik tidak mudah dan dibutuhkan kesabaran yang tinggi, sebab bila tidak, akan memunculkan rasa emosi yang terkadang sulit di kendalikan. Emosi ini terkadang diekspresikan oleh guru dalam bentuk kekerasaan verbal, bisa makian yang diiringi dengan nada suara tinggi, dengan sindiran yang menyakitkan (sarkasme), diskriminasi verbal dengan kata-kata mendiskreditkan agama, ras gender, dengan ancaman, dengan tuduhan dan sebagainya. Tapi ada juga dalam bentuk kekerasan fisik seperti mencubit, menampar, menendang, memukul dengan benda keras. Membakar menganiaya, mengikat dengan tali dan sebagainya.

Bentuk atau jenis ekspresi emosi seperti gambaran di atas, sebaiknya tidak dilakukan oleh guru ketika sedang dalam proses mendidik, apapun alasannya. Sebab kekerasan yang dilakukan oleh guru kepada muridnya akan diingat dan terekam sepanjang hidupnya. Suatu ketika memori sianak didik akan hadir dalam ingatannya saat bertemu dengan guru yang berperilaku emosi. Ajaran Islam mengajarkan kepada kita untuk menjaga agar anak tidak tersakiti baik fisiknya maupun jiwanya dan bila itu terjadi, maka boleh jadi dikemudian hari, rasa sakit itu akan di wujudkan ke orang lain Ketika ia dewasa. Ajaram Islam juga mengajarkan agar dalam mendidik, genggamlah hati anak didik dalam mengajarkan suatu ilmu. Memaknai kalimat genggam hati anak didik jangan dipahami sevara dhahir tapi hakiki yaitu berikan kenyamanan, ketenangan, keteduhan sehingga membuat hatinya menjadi siap untuk menerima pengalaman pengetahuan. Memberikan keteladanan yang konkrit dan bukan palsu.

Di sisi lain, peserta didik tentu mempunyai orang tua atau wali, sebagai pihak yang bertanggungjawab yang membiayai seluruh kebutuhan anak. Hal ini tentu dapat dipahami secara emosional bahwa antara anak dan orangtuanya memiliki ikatan batin yang kuat sejak dalam kandungan hingga besar. Ikatan ini pula yang menumbuhkan rasa sayang orang tua terhadap anak terlihat dari upaya dan usaha yang dilakukan adalah untuk anak. Jadi, karena perhatian yang begitu besar terhadap anak serta harapan masa depan tentu memilih dan menitip anaknya di Lembaga Pendidikan yang baik. Harapan orang tua, anaknya akan mendapatkan pengalaman selama proses pembelajaran, bukan sebaliknya, justru sianak mendapatkan kekerasan baik fisik maupun verbal dari guru. Dalam hal ini, wali murid juga memiliki rasa emosi ketika mendengar anaknya di sekolah mengalami perlakuan kekerasan dari pihak guru.

Dari beberapa kasus yang pernah terjadi, bentuk dan jenis kekerasan yang pernah dialami guru, misalnya kekerasan fisik, kekerasan psikologis, kekerasan verbal, kekerasan digital atau cyber bullying, kekerasan dengan ancaman hukum palsu. Kekerasan fisik bisa berupa pemukulan, menampar, mendorong. Kekerasan verbal bisa berupa menghina, memaki guru dengan kata kasar, merendahkan martabat guru dihadapan murid atau public, mengancam secara lisan. Kekerasan psikologis bisa berupa menyalahkan guru secara terus menerus, menebar fitnah yang dapat merusak citra guru, intimidasi untuk memberi nilai tertentu kepada anaknya. Kekerasan digital bisa berupa ujaran kebencian terhafap guru dimedia sosial, mengunggah video atau foto guru yang tidak etis  untuk dipermalukan di media sosial, mengirim pesan ancaman atau pelecehan melalui aplikasi chatting. Kekerasan ancaman hukum palsu bisa berupa melaporkan guru ke pihak berwenang, bisa polisi atau dinas Pendidikan tanpa bukti kuat hanya untuk menjatuhkannya, memanfaatkan kenalan di lingkungan aparat guna menakut nakuti guru.

Secara hukum, bentuk-bentuk kekerasan yang dilakukan wali murid terhadap guru merupakan Tindakan melanggar hukum dan melukai keharmonisan Pendidikan. Peraturan perundang-undangan saat ini seperti Undang-undang Republik Indonesia Nomor. 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen, Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 memberikan dasar perlindungan yang kuat, namun lemah dalam implementasinya. Hal ini terdapat beberapa alasan misalnya tidak mau melapor karena khawatir akan memperluas konflik, dipihak lain seperti penegak hukum menganggap masalah itu bersifat internal. Selain itu, regulasi yang mengatur perlindungan guru bersifat umum dan tidak detil secara operasiojal. Meskipun demikian, setiap bentuk kekerasan yang dilakukan wali murid tergadap guru bisa diproses sesuai dengan ketentuan hukum yang ada seperti Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-undang Repunlik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UUITE), maupun melalui mediasi atau non litigasi.

Sebaliknya, secara hukum dan ilmu Pendidikan, Tindakan kekerasan yang dilakukan guru terhadap murid juga merupakan pelanggaran serius, baik secara pidana maupun secara perdata. Secara pidana, guru telah melakukan pelanggaran terhadap Undang-undang Nomor 14 Tahun 2014 tentang Perlindungan anak, dan melanggar aturan hukum pidana yang mengatur mengenai penganiayaan. Sedangkan pelanggaran dari aspek hukum Perdata merupakan pelanggaran hak siswa untuk mendapatkan Pendidikan yang aman, serta mendapatkan perlindungan dari kekerasan. Dari sajian sederhana ini, jika dikaitkan dengan berita mengenai adanya wali murid yang melakukan Tindakan kekerasan dengan cara mendenda guru yang melakukan kekerasan terhadap murid adalah perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai kekerasan psikologis dan kekerasan hukum palsu, sedangkan guru yang melakukan kekerasan terhadap murid dapat dikategorikan kekerasan fisik dan Tindakan ini tidak patut dilakukan sebagai guru. Karena itu, peristiwa tentang perkara di atas. Keduanya melakukan pelanggaran regulasi, dan sebaiknya diselesaikan secara non litigasi dan tanpa di publis ke media sosial.

 

Share this Post