Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia: Moderasi Beragama sebagai Arah Utama Pendidikan Islam

Oleh: Dr. Zulfikar Ali Buto, M.A. (Direktur Pascasarjana UIN Sultanah Nahrasiyah Lhokseumawe) 

Pendidikan Islam di Indonesia saat ini berada di persimpangan penting antara memenuhi tuntutan zaman yang semakin kompleks dan mempertahankan nilai-nilai tradisional. Pendidikan Islam menghadapi tantangan untuk tetap relevan, moderat, dan progresif di tengah perubahan yang begitu cepat dalam sosial, budaya, ekonomi, dan teknologi. Di kalangan masyarakat dan akademisi, moderasi beragama, inklusi pendidikan, transformasi digital, dan integrasi nilai-nilai kemanusiaan dan lingkungan menjadi topik yang banyak diperdebatkan. Meskipun pendidikan Islam di Indonesia memiliki sejarah dan struktur yang kuat, ia harus berubah untuk memenuhi tuntutan zaman sekarang yang menuntut kreativitas, efisiensi, dan kemampuan berpikir kritis dan kolaboratif.

Salah satu fokus utama Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag) saat ini adalah moderasi beragama (wasathiyah Islam), masalah penting dalam pendidikan Islam modern. Konsep ini berakar pada konsep keadilan (i‘tidal), toleransi (tasamuh), dan keseimbangan (tawazun). Tujuannya adalah untuk membuat generasi Muslim yang berpikir dan bertindak dengan cara yang tidak ekstrem. Ini akan mencegah liberalisme yang berlebihan atau radikalisme yang menutup diri terhadap perbedaan.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020–2024 pemerintah Indonesia menetapkan moderasi beragama sebagai program nasional. RPJMN ini dilanjutkan oleh Kementerian Agama dengan berbagai kebijakan dan pelatihan bagi guru, dosen, dan tenaga pendidik di lembaga pendidikan Islam seperti madrasah, pesantren, dan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN). Pada tahun 2023, lebih dari 70.000 guru madrasah dan dosen Di beberapa perguruan tinggi, program ini juga dimasukkan ke dalam kurikulum Pendidikan Agama Islam (PAI), serta mata kuliah umum seperti Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan.

Konsep moderasi beragama tidak berarti mengurangi keyakinan agama seseorang. Sebaliknya, itu berarti memperkuat nilai-nilai Islam yang menekankan keseimbangan (tawazun), keadilan (‘adl), dan toleransi (tasamuh). Nilai-nilai ini sangat penting untuk membangun kehidupan beragama yang damai dan harmonis di tengah masyarakat yang heterogen seperti Indonesia. Secara lebih khusus, moderasi beragama mewajibkan umat Islam untuk menghindari sikap ekstrim dalam memahami ajaran agama mereka. Ini mencegah mereka menjadi baik ekstrem kanan (radikal) maupun ekstrem kiri (liberal berlebihan). Sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur'an surat Al-Baqarah ayat 143, "Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat yang wasath (moderat) agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia..." Islam mengajarkan jalan tengah. Ayat ini menegaskan bahwa umat Islam diposisikan sebagai “umat pertengahan” yang mengedepankan keseimbangan antara dunia dan akhirat, antara hak individu dan kepentingan sosial.

Diharapkan bahwa pendidikan Islam yang moderat mampu membangun siswa yang tidak hanya memahami ajaran agama secara teks, tetapi juga memahami substansi moral dan kemanusiaan yang terkandung dalam ajaran Islam. Misalnya, pendidikan di madrasah dan pesantren dapat menggabungkan studi kitab kuning klasik dengan masalah modern seperti keadilan sosial, hak asasi manusia, dan lingkungan hidup. Program seperti Pesantren Ramah Anak dan Pesantren Moderasi Beragama, yang didirikan oleh Kementerian Agama sejak tahun 2021, adalah contoh nyata dari upaya untuk meningkatkan moderasi beragama di institusi pendidikan Islam. Pendidikan moderen juga membantu siswa belajar berpikir kritis dan dialogis. Misalnya, siswa tidak hanya diajarkan tentang fikih, tauhid, dan akhlak dalam kurikulum belajar bebas di madrasah. tetapi juga diberikan ruang untuk berdiskusi dan memecahkan masalah sosial dengan perspektif Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Program Mata Pelajaran PAI berbasis Moderasi Beragama yang diujicobakan di berbagai madrasah negeri di Indonesia menunjukkan hasil positif: siswa menjadi lebih terbuka terhadap perbedaan mazhab, budaya, dan pandangan keagamaan.

Salah satu tantangan utama adalah adanya kesalahpahaman di kalangan sebagian orang Islam yang menganggap moderasi beragama sebagai upaya untuk "westernisasi" nilai-nilai keagamaan atau "pelemahan" ajaran Islam. Misalnya, menurut hasil survei yang dilakukan oleh Balitbang Diklat Kemenag pada tahun 2022, masih ada sekitar 23% guru madrasah yang menganggap program moderasi beragama sebagai agenda politik atau sekularisasi nilai agama. Namun, moderasi beragama berarti menyeimbangkan antara penghormatan terhadap perbedaan dan komitmen terhadap ajaran agama.

Guru dan dosen Pendidikan Agama Islam (PAI) adalah peran penting dalam proses pendidikan karena mereka bertanggung jawab untuk menanamkan nilai-nilai moderasi kepada siswa mereka. Mereka tidak hanya berfungsi sebagai penyampai informasi agama, tetapi mereka juga memiliki kemampuan untuk mengubah masyarakat dengan menumbuhkan sifat yang toleran, adil, dan berkeadaban. Misalnya, sejak tahun 2020, beberapa perguruan tinggi keagamaan Islam negeri (PTKIN), termasuk UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan UIN Sultanah Nahrasiyah Lhokseumawe, telah memasukkan mata kuliah Moderasi Beragama ke dalam program studi mereka. Program seperti Madrasah Ramah Anak dan Moderat yang diluncurkan oleh Kementerian Pendidikan menunjukkan praktik moderasi di sekolah dasar dan menengah.

Oleh karena itu, pendidikan Islam moderat tidak berarti kehilangan identitas atau bersikap netral terhadap nilai-nilai kebenaran; sebaliknya, itu berarti memperjuangkan keadilan, keberagaman, dan kemanusiaan, yang merupakan pilar ajaran Islam. Nabi Muhammad SAW menunjukkan hal ini dalam kehidupan sosialnya dengan menegakkan prinsip rahmatan lil'alamin. Untuk menjadi jembatan peradaban di tengah masyarakat yang majemuk seperti Indonesia, pendidikan Islam moderat bertujuan untuk menghasilkan generasi Muslim yang berilmu, berakhlak, dan terbuka terhadap perbedaan.

Share this Post