ARAH BARU PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA: Pendidikan Islam yang Inklusif dan Berkeadilan
Oleh: Prof. Dr. Zulfikar Ali Buto, M.A. (Direktur Pascasarjana UIN Sultanah Nahrasiyah Lhokseumawe)
Pendidikan Islam berada di persimpangan penting antara tradisi dan modernitas. Di satu sisi, ia didasarkan pada nilai-nilai keislaman yang berasal dari Al-Qur'an dan Sunnah, dan dihadapkan pada tuntutan zaman yang semakin kompleks, seperti globalisasi, transformasi digital, kesenjangan sosial, dan tantangan kebinekaan yang terus menguji kohesi bangsa. Oleh karena itu, konsep pendidikan Islam yang inklusif dan berkeadilan harus dipertegas dan diwujudkan secara nyata dalam sistem pendidikan nasional.
Pendidikan Islam yang inklusif mencakup tidak hanya akses langsung ke sekolah, tetapi juga penerimaan perbedaan, terlepas dari status sosial, gender, atau kemampuan. Lembaga pendidikan Islam harus menerima anak-anak berkebutuhan khusus, perempuan, dan kelompok minoritas dalam konteks ini. Al-Qur'an menunjukkan prinsip keadilan pendidikan, yang berarti bahwa setiap orang memiliki hak yang sama untuk belajar dan berkembang secara adil. Oleh karena itu, kebijakan dan praktik pendidikan Islam harus memastikan bahwa setiap siswa memiliki kesempatan yang sama untuk memaksimalkan potensinya.
Pendidikan Islam yang inklusif sebenarnya berarti tidak hanya memperluas akses ke institusi pendidikan secara langsung, tetapi juga menerima perbedaan yang ada pada setiap orang, terlepas dari status sosial, budaya, gender, atau kemampuan mereka. Memastikan bahwa semua siswa di Indonesia memiliki kesempatan yang sama untuk belajar adalah masalah utama dalam pendidikan Islam di Indonesia. Data dari Kementerian Agama (Kemenag) tahun 2023 menunjukkan bahwa lebih dari 10,6 juta siswa menempuh pendidikan di madrasah dari tingkat Madrasah Ibtidaiyah (MI) hingga Madrasah Aliyah (MA). Namun, akses ke sekolah Islam masih tidak merata. Rasio madrasah terhadap siswa usia sekolah masih di bawah 30% di daerah 3T seperti Papua dan Maluku. Ini jauh di bawah rata-rata Pulau Jawa, yang mencapai 70–80%.
Penerimaan anak berkebutuhan khusus (ABK) adalah bagian lain dari inklusi, selain masalah akses. Sayangnya, data dari Kemenag tahun 2022 menunjukkan bahwa hanya sekitar 4 persen sekolah memiliki program inklusif. Namun, ada beberapa contoh positif, seperti Madrasah Inklusi Al-Qur'an Center di Yogyakarta dan MIN 1 di Kota Malang, yang berhasil mengintegrasikan siswa dengan autisme, tunanetra, dan tunarungu ke dalam pembelajaran yang didasarkan pada nilai-nilai Islam seperti rahmatan lil 'alamin dan ihsan. Upaya ini sejalan dengan ajaran Islam, yang menekankan kesetaraan manusia tanpa diskriminasi, seperti yang dinyatakan dalam Al-Hujurat ayat 13, di mana disebutkan bahwa manusia diciptakan untuk saling mengenal, bukan untuk merendahkan satu sama lain. Oleh karena itu, pendidikan Islam yang benar harus memungkinkan setiap orang untuk mencapai potensi terbaiknya.
Arah baru pendidikan Islam di Indonesia adalah menuju sistem yang lebih inklusif dan berkeadilan yang menekankan nilai-nilai kemanusiaan dan spiritualitas Islam selain aspek kognitif. Pendidikan Islam di masa depan harus dapat menawarkan kesempatan untuk belajar kepada semua orang, tidak peduli apakah mereka kaya atau miskin, laki-laki atau perempuan, normal atau berkebutuhan khusus. Ini karena Islam mengajarkan bahwa setiap orang memiliki martabat yang sama di hadapan Allah. Pendidikan Islam sejatinya harus menjadi wahana untuk memanusiakan manusia, meningkatkan kesadaran masyarakat, dan menyebarkan rahmat ke seluruh alam, seperti yang ditunjukkan oleh prinsip musawah (kesetaraan) dan "adl". Ini adalah inti dari pendidikan Islam yang benar-benar inklusif dan adil.
Inklusi tidak sekadar menerima keberagaman siswa yang berasal dari berbagai latar belakang budaya, sosial, dan ekonomi. Ini juga berarti membuka ruang untuk berbicara, toleran, dan menghargai perbedaan pendapat dan keyakinan sepanjang berada dalam koridor nilai-nilai Islam yang rahmatan lil'alamin. Pendidikan Islam yang inklusif harus menciptakan lingkungan di mana setiap siswa dihargai, didengar, dan memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang.
Pendidikan Islam yang inklusif menghindari diskriminasi berdasarkan status sosial, gender, atau disabilitas. Hal ini sejalan dengan keyakinan Islam bahwa semua manusia sama dan hanya takwa yang membedakan mereka. (QS. Al-Hujurat: 13) Pendidikan Islam inklusif harus mencakup kurikulum yang ramah terhadap siswa difabel, memungkinkan perempuan untuk berpartisipasi dalam kepemimpinan lembaga pendidikan, dan mendorong kolaborasi lintas budaya dan keilmuan. Ada banyak madrasah dan pesantren progresif di Indonesia yang mulai menerapkan pendekatan gender equality, memasukkan pendidikan lingkungan, dan menggunakan teknologi digital untuk mengajar. Mereka sekarang melihat Islam sebagai sistem nilai yang dapat memfilter, mengarahkan, dan memperkaya modernitas, dan bukannya sebagai entitas yang tertutup dari kemajuan ilmu pengetahuan.
Keadilan pendidikan juga berkaitan dengan kualitas guru. Saat ini, banyak guru dan dosen agama Islam menghadapi masalah kesehatan, keterampilan instruksional, dan kemampuan teknologi. Untuk meningkatkan pendidikan Islam, program sertifikasi guru, pelatihan profesional, dan pembinaan akademik yang berkelanjutan sangat penting. Sebab, pendidikan Islam akan sulit menghasilkan siswa yang unggul dan berdaya saing di pasar global tanpa guru yang berkualitas dan sejahtera. Keadilan juga mencakup elemen pendidikan. Kurikulum pendidikan Islam harus dibuat untuk mencerminkan keberagaman masyarakat Indonesia dan tidak hanya menguntungkan kelompok tertentu. Misalnya, pendidikan tentang fiqih dan akhlak harus dihubungkan dengan masalah modern seperti ekonomi berkeadilan, ekologi, dan hak asasi manusia. Oleh karena itu, siswa tidak hanya memiliki pemahaman normatif tentang Islam, tetapi mereka juga mampu menerjemahkannya ke dalam tindakan sosial yang adil dan manusiawi.