Poligami di Persimpangan Jalan: Hak Asasi, Keadilan Gender, dan Syariah Islam
Oleh: Dr. Bukhari, M.H., CM.
(Penulis adalah pengajar pada Program Pascasarjana UIN Sultanah Nahrasiyah (SUNA) Lhokseumawe.)
Poligami selalu menjadi topik yang memantik kontroversi. Di satu sisi, fiqh klasik memberi ruang bagi laki-laki Muslim untuk menikahi hingga empat istri dengan syarat keadilan. Di sisi lain, hukum positif Indonesia menempatkan poligami sebagai sesuatu yang sangat dibatasi dan harus melewati mekanisme pengadilan. Sementara itu, wacana hak asasi manusia (HAM) dan gerakan kesetaraan gender seringkali menyoroti poligami sebagai praktik yang dianggap diskriminatif terhadap perempuan.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan penting: apakah poligami masih relevan di era modern yang menjunjung tinggi keadilan gender, ataukah tetap menjadi bagian dari ajaran syariat Islam yang harus dihormati?
Perspektif Fiqh Klasik.
Dalam fiqh, poligami dibolehkan dengan rujukan pada Al-Qur’an Surat An-Nisa ayat 3. Namun, syarat utamanya adalah keadilan yang bukan hanya sekadar materi, tetapi juga menyangkut kasih sayang, perhatian, dan pemenuhan hak-hak istri. Banyak ulama menegaskan bahwa syarat adil ini sangat berat, sehingga secara substansi poligami bukanlah perintah, melainkan dispensasi dalam kondisi tertentu.
Perspektif Maqasid Syariah.
Jika dilihat dari teori maqasid syariah, tujuan utama pernikahan adalah menjaga agama (hifz al-din), keturunan (hifz al-nasl), dan martabat manusia (hifz al-‘ird). Poligami bisa dibenarkan jika bertujuan untuk melindungi hak perempuan dan anak, misalnya dalam kondisi tertentu ketika seorang perempuan membutuhkan perlindungan sosial atau seorang suami berhadapan dengan situasi darurat. Namun, jika poligami hanya berlandaskan nafsu atau menimbulkan mudarat lebih besar, maka ia justru bertentangan dengan maqasid syariah.
Perspektif Hukum Positif Indonesia.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengatur poligami dengan ketat. Seorang suami hanya bisa berpoligami jika mendapat izin pengadilan, dengan syarat istri tidak dapat menjalankan kewajiban, cacat atau tidak dapat melahirkan keturunan, serta adanya persetujuan dari istri pertama. Secara normatif, aturan ini menunjukkan bahwa poligami dipandang sebagai pengecualian, bukan norma umum dalam perkawinan di Indonesia.
Poligami dan Isu HAM.
Gerakan perempuan dan wacana HAM menilai poligami berpotensi melanggengkan ketidakadilan gender. Praktiknya sering kali berujung pada diskriminasi, marginalisasi perempuan, bahkan berdampak pada kesehatan mental dan ekonomi keluarga. Maka, kritik ini tidak bisa diabaikan begitu saja. Namun, menolak poligami secara absolut juga akan berbenturan dengan norma agama yang dianut mayoritas masyarakat Muslim.
Jalan Tengah.
Menurut hemat saya, jalan tengahnya adalah melihat poligami sebagai opsi terakhir, bukan pilihan utama. Negara sudah menempatkan aturan ketat untuk membatasi praktik poligami yang tidak sehat. Di sisi lain, umat Islam perlu memahami bahwa esensi dari poligami adalah keadilan, bukan sekadar memenuhi hasrat.
Poligami di persimpangan jalan hari ini menuntut kebijakan hukum yang arif: tetap menghormati syariat Islam, tetapi juga menjamin perlindungan terhadap perempuan dan anak. Dengan demikian, poligami tidak boleh dilihat sekadar sebagai hak suami, melainkan harus ditempatkan dalam bingkai tanggung jawab, keadilan, dan kemaslahatan.