Program Makan Bergizi Gratis: Antara Harapan Besar dan Realitas Implementasi

Oleh: Dr. Zulkahiri, M.Pd.
(Sekretaris Prodi MPI Pascasarjana UIN Sultanah Nahrasiyah Lhokseumawe)

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diluncurkan pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka pada 6 Januari 2025 merupakan salah satu program kebijakan sosial paling ambisius dalam sejarah Indonesia modern. Dengan target menjangkau hingga 82 juta penerima manfaat dan alokasi anggaran mencapai Rp71 triliun dalam tahun pertama, program ini tidak hanya mencerminkan komitmen pemerintah terhadap peningkatan kualitas sumber daya manusia, tetapi juga menunjukkan ambisi besar untuk mengatasi permasalahan stunting dan malnutrisi yang masih menghadang Indonesia dalam mewujudkan visi Indonesia Emas 2045.

Fondasi yang Kuat: Capaian Awal dan Dampak Positif

Setelah hampir satu tahun berjalan, capaian Program MBG menunjukkan hasil yang cukup menggembirakan. Berdasarkan laporan terkini, program ini telah menjangkau hampir 30 juta penerima manfaat dalam 11 bulan implementasi, dengan 5.800 Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang tersebar di 38 provinsi. Pencapaian ini bahkan mendapat pengakuan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai model program yang patut diapresiasi.

Dampak positif program ini tidak hanya terlihat dari sisi kuantitas penerima manfaat, tetapi juga dari berbagai dimensi pembangunan. Penelitian menunjukkan bahwa program MBG telah berhasil menurunkan prevalensi stunting sebesar 7,8% dan anemia sebesar 5,4% di kalangan siswa sekolah dasar. Lebih menggembirakan lagi, tingkat kehadiran siswa di sekolah meningkat sebesar 12%, sementara kemampuan konsentrasi belajar meningkat hingga 15%. Temuan ini sejalan dengan teori Modal Manusia yang menekankan pentingnya investasi dalam kesehatan dan gizi sebagai fondasi pembangunan sumber daya manusia berkualitas.

Dari perspektif ekonomi, program MBG telah menciptakan dampak multiplier yang signifikan. Berdasarkan data resmi, program ini telah menciptakan 290.000 lapangan kerja baru di sektor dapur umum dan melibatkan sekitar 1 juta petani, nelayan, peternak, dan pelaku UMKM. Sirkulasi ekonomi yang tercipta melalui program ini diperkirakan mencapai Rp8 miliar per desa per tahun, membalikkan tren penyerapan dana dari daerah ke pusat menjadi redistribusi kekayaan ke tingkat grassroots.

Menghadapi Kenyataan: Tantangan dan Kritik Implementasi

Namun demikian, perjalanan implementasi MBG tidak terlepas dari berbagai tantangan dan kritik yang memerlukan perhatian serius. Salah satu tantangan paling menonjol adalah kasus keracunan makanan yang terjadi di berbagai lokasi. Meskipun Presiden Prabowo menyebutkan tingkat penyimpangan hanya 0,00017 persen dari seluruh distribusi, kejadian ini menimbulkan kekhawatiran publik dan bahkan melahirkan plesetan "Makan Beracun Gratis" di media sosial.

Permasalahan mendasar yang diidentifikasi oleh para akademisi mencakup empat aspek fundamental: skala distribusi yang terlalu luas tanpa persiapan infrastruktur memadai, tujuan ekonomi yang menggeser fokus dari aspek kesejahteraan sosial, sistem pengawasan yang belum optimal, dan standardisasi kualitas yang belum merata. Kritik lain datang dari aspek targeting, di mana program ini dibagikan secara universal tanpa mempertimbangkan kemampuan ekonomi keluarga, sehingga keluarga mampu juga menerima bantuan yang seharusnya lebih tepat sasaran kepada keluarga kurang mampu.

Tantangan operasional juga tidak kalah serius. Kasus penutupan dapur di Kalibata akibat tunggakan pembayaran Rp1 miliar menunjukkan lemahnya sistem manajemen keuangan program. Keterlambatan pencairan dana tidak hanya mengganggu operasional, tetapi juga berdampak pada kualitas makanan dan keberlangsungan program di tingkat implementasi.

Pembelajaran dari Pengalaman Internasional

Melihat pengalaman global, program pemberian makan bergizi gratis di sekolah bukanlah hal baru. Saat ini, 466 juta anak di seluruh dunia menerima makan sekolah melalui program yang dikelola pemerintah, dengan peningkatan 20 persen dalam empat tahun terakhir. Negara-negara seperti India dengan program Mid-Day Meal yang menjangkau 125 juta anak, Brasil dengan program universal untuk 40 juta anak, serta negara-negara Skandinavia seperti Finlandia dan Swedia yang telah menjalankan program serupa selama puluhan tahun, menunjukkan bahwa program makan sekolah gratis dapat berkelanjutan jika dikelola dengan baik.

Penelitian di Swedia menunjukkan bahwa anak-anak dari keluarga berpenghasilan rendah yang menerima makan sekolah gratis selama sembilan tahun mengalami peningkatan pendapatan seumur hidup sebesar 6%, dengan rasio manfaat-biaya mencapai 7:1. Sementara itu, program serupa di Kolombia menunjukkan dampak jangka panjang tidak hanya pada kehadiran sekolah, tetapi juga pada kelulusan sekolah menengah dan akses ke perguruan tinggi.

Kunci keberhasilan program internasional tersebut terletak pada tiga pilar utama: komitmen jangka panjang dari pemerintah, sistem pengawasan kualitas yang ketat, dan integrasi dengan ekonomi lokal melalui pengadaan bahan pangan dari petani sekitar. Pembelajaran ini menjadi sangat relevan untuk perbaikan implementasi MBG di Indonesia.

Konteks Stunting Indonesia: Urgensitas yang Tidak Dapat Diabaikan

Program MBG harus dipahami dalam konteks perjuangan Indonesia melawan stunting yang masih menjadi tantangan besar. Data Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2024 menunjukkan prevalensi stunting nasional sebesar 19,8%, turun dari 21,5% pada tahun 2023. Meskipun menunjukkan tren positif, angka ini masih jauh dari target pemerintah untuk mencapai 14,2% pada tahun 2029.

Disparitas antar daerah juga masih sangat tinggi, dengan provinsi seperti Bali berhasil menekan stunting hingga 8,6%, sementara Nusa Tenggara Timur masih berjuang dengan angka 37%. Kondisi ini menunjukkan bahwa intervensi seperti MBG tidak hanya diperlukan, tetapi juga harus disesuaikan dengan karakteristik dan kebutuhan spesifik setiap daerah.

Penelitian menunjukkan bahwa pemberian makanan bergizi di sekolah dapat memenuhi 30-35% kebutuhan gizi harian anak, yang sangat signifikan dalam upaya pencegahan stunting. Dalam konteks Indonesia di mana 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) menjadi periode kritis, program MBG memiliki peran strategis sebagai safety net gizi bagi anak-anak usia sekolah.

Menuju Perbaikan: Rekomendasi Strategis

Berdasarkan analisis komprehensif terhadap implementasi MBG, beberapa rekomendasi strategis perlu dipertimbangkan untuk meningkatkan efektivitas program:

Pertama, penguatan sistem pengawasan kualitas makanan melalui implementasi sertifikat HACCP (Hazard Analysis and Critical Control Points) secara konsisten di seluruh dapur MBG, sebagaimana yang telah mulai diberlakukan oleh Kementerian Kesehatan. Sistem ini harus disertai dengan pelatihan berkelanjutan bagi pengelola dapur dan mekanisme audit berkala yang transparan.

Kedua, perbaikan sistem targeting dengan menerapkan kriteria berbasis kebutuhan yang lebih tepat sasaran. Sebagaimana saran dari Perguruan Tinggi Guru (P2G), program ini sebaiknya diprioritaskan untuk sekolah-sekolah di daerah dengan tingkat ekonomi rendah dan prevalensi stunting tinggi, rather than universal coverage yang kurang efisien.

Ketiga, penguatan infrastruktur dan kapasitas logistik, terutama di daerah-daerah terpencil. Banyak sekolah masih kekurangan fasilitas dasar seperti dapur, ruang makan, dan fasilitas penyimpanan makanan yang memadai.

Keempat, pengembangan menu berbasis kearifan lokal yang tidak hanya memenuhi standar gizi, tetapi juga sesuai dengan selera dan budaya makan setempat. Penelitian di Jember menunjukkan bahwa daya terima makanan oleh siswa sangat mempengaruhi efektivitas program.

Kelima, transparansi dan akuntabilitas pengelolaan anggaran melalui sistem monitoring dan evaluasi yang melibatkan partisipasi masyarakat. Dengan besarnya anggaran yang dialokasikan, risiko penyalahgunaan dapat diminimalkan melalui pengawasan yang ketat dan sistem pelaporan yang transparan. (FAS)

Share this Post