Revitalisasi Interaksi Teungku dan Santri di Era Digital
Oleh: Zulfannur (Mahasiswa Pascasarja Universitas Islam Negeri Sultanah Nahrasiyah Lhokseumawe sekaligus Guru Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Al-Hidayah)
Perkembangan teknologi digital telah membawa perubahan besar dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam dunia pendidikan Islam tradisional seperti dayah di Aceh. Jika dulu santri menghabiskan sebagian besar waktunya dalam majelis ilmu bersama teungku, kini pemandangan itu mulai bergeser. Gadget, media sosial, dan akses internet yang luas telah menjadi bagian dari kehidupan santri sehari-hari. Fenomena ini menimbulkan tantangan baru bagi lembaga dayah, terutama dalam menjaga kedisiplinan dan semangat belajar santri yang menjadi ciri khas pendidikan Islam klasik.
Dayah, yang selama ini dikenal sebagai lembaga pembentuk karakter, kini dihadapkan pada dilema: bagaimana mempertahankan nilai-nilai kedisiplinan di tengah derasnya arus digital? Jawabannya tidak lain adalah dengan merevitalisasi interaksi antara teungku dan santri yang menjadi inti dan ruh pendidikan dayah selama berabad-abad.
Teungku Sebagai Figur Sentral
Dalam sistem pendidikan dayah, teungku bukan hanya seorang pengajar ilmu agama. Ia juga berperan sebagai pendidik moral, pembimbing spiritual, sekaligus teladan hidup bagi para santri. Melalui interaksi sehari-hari baik di ruang belajar maupun di asrama teungku menanamkan nilai-nilai disiplin, tanggung jawab, kejujuran, dan ketulusan. Hubungan yang terjalin antara teungku dan santri bersifat personal, mendalam, dan berlandaskan keikhlasan, sehingga membentuk karakter santri yang kuat.
Namun, perubahan zaman menghadirkan tantangan baru. Di era digital, interaksi langsung mulai tergantikan oleh komunikasi berbasis layar. Santri kini lebih banyak berinteraksi dengan media sosial ketimbang dengan gurunya. Akibatnya, nilai ta’zim (hormat kepada guru) dan disiplin belajar perlahan memudar. Banyak santri yang kehilangan fokus dalam menuntut ilmu karena tergoda oleh hiburan digital yang tak terbatas.
Disiplin di Tengah Arus Modernitas
Kedisiplinan dalam konteks dayah tidak hanya berarti kepatuhan terhadap aturan, tetapi juga kesadaran untuk menghargai waktu, ilmu, dan proses belajar. Di era modern, kedisiplinan ini perlu dimaknai ulang tanpa kehilangan esensinya. Teungku dan lembaga dayah perlu mengembangkan model interaksi edukatif yang adaptif terhadap perkembangan teknologi, tanpa mengorbankan nilai-nilai dasar pendidikan Islam.
Salah satu langkah konkret adalah dengan mengintegrasikan teknologi ke dalam sistem pembelajaran dayah. Misalnya, memanfaatkan media digital untuk menyebarkan kajian, membuat konten edukatif Islami, atau mengadakan forum diskusi daring antara teungku dan santri. Dengan pendekatan ini, teknologi bukan lagi dianggap sebagai ancaman, melainkan sebagai sarana dakwah dan pembelajaran yang memperkuat hubungan guru dan murid.
Selain itu, penting pula bagi teungku untuk memberikan teladan dalam penggunaan teknologi secara bijak. Santri akan meniru apa yang mereka lihat. Jika teungku mampu menunjukkan kedisiplinan dan tanggung jawab dalam memanfaatkan media digital, maka santri akan belajar meniru nilai tersebut secara sadar.
Menjaga Ruh Keilmuan dan Keikhlasan
Kekuatan utama dayah selama ini terletak pada ruh keikhlasan dan keteladanan. Pendidikan di dayah tidak hanya menekankan aspek kognitif, tetapi juga pembinaan akhlak dan spiritualitas. Interaksi yang hangat dan komunikatif antara teungku dan santri menjadi wadah pembentukan karakter Islami.
Modernisasi pendidikan dayah seharusnya tidak menghapus nilai-nilai tersebut, melainkan menguatkannya dengan pendekatan baru. Di tengah era digital, teungku tetap harus menjadi sosok yang dekat dengan santri bukan hanya dalam ruang fisik, tetapi juga dalam ruang digital.
Dayah yang mampu menjaga keseimbangan antara tradisi dan modernitas akan tetap relevan dalam membentuk generasi Muslim yang berilmu, beradab, dan disiplin. Modernitas bukan alasan untuk meninggalkan nilai-nilai lama, tetapi menjadi peluang untuk menghidupkan kembali semangat keilmuan Islam dengan wajah baru yang lebih adaptif dan terbuka terhadap kemajuan zaman.
Penutup
Revitalisasi interaksi teungku dan santri di era digital bukan hanya upaya mempertahankan tradisi, tetapi juga bentuk inovasi pendidikan Islam. Dengan komunikasi yang humanis, pembelajaran yang adaptif, dan keteladanan yang nyata, dayah akan tetap menjadi benteng moral sekaligus pusat transformasi nilai-nilai Islam di tengah modernitas yang terus bergerak.
Jika teungku mampu memadukan kearifan lama dengan kemajuan baru, maka disiplin santri bukan hanya akan terjaga, tetapi juga tumbuh menjadi kesadaran diri yang kokoh di tengah tantangan zaman digital.