“Suara Kelas yang Hilang”, Bagaimana Guru Menghadapi Perilaku Siswa yang Tak Beretika

Oleh: Zulfannur. (Mahasiswa Pascasarja Universitas Islam Negeri Sultanah Nahrasiyah Lhokseumawe Sekaligus Guru Sekolah Menengah Kejuruan Al-Hidayah)

Dalam dunia pendidikan masa kini, munculnya perilaku siswa yang tidak beretika di dalam kelas menjadi salah satu tantangan serius yang dihadapi oleh para pendidik. Fenomena ini sering tampak dalam bentuk perilaku disruptif seperti berbicara tanpa izin, bercanda secara berlebihan, mengabaikan instruksi guru, atau mencari perhatian dengan cara yang tidak tepat. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Universitas Tanjungpura melalui jurnal Behavioral Problems in English Classroom ditemukan bahwa perilaku nakal seperti berbicara di luar konteks, mengganggu teman, serta mencari perhatian guru merupakan perilaku yang paling sering muncul di kelas Bahasa Inggris tingkat SMA (kelas XI). Penelitian tersebut juga menjelaskan bahwa perilaku disruptif muncul karena rendahnya motivasi belajar dan kurangnya perhatian guru terhadap kebutuhan emosional siswa, sehingga mereka mencari pengakuan melalui perilaku yang mengganggu proses pembelajaran.

Contoh nyata dari fenomena ini dapat ditemukan di berbagai sekolah, misalnya di salah satu SMK di Kabupaten Bireuen di mana guru Bahasa Inggris menghadapi siswa yang sering menginterupsi penjelasan, bercanda keras di tengah pelajaran, dan bahkan memainkan ponsel tanpa izin. Ketika ditegur, sebagian dari mereka bersikap acuh tak acuh atau menanggapinya dengan tawa. Perilaku semacam ini menimbulkan suasana belajar yang tidak kondusif dan membuat siswa lain kehilangan fokus. Jika hal ini terus dibiarkan, maka akan berdampak pada menurunnya wibawa guru, berkurangnya efektivitas pembelajaran, serta melemahnya etika dan kedisiplinan siswa. Dalam jangka panjang, perilaku tidak sopan terhadap guru dan aturan kelas dapat berkembang menjadi sikap yang lebih berbahaya, yaitu tidak menghormati otoritas dan hilangnya rasa tanggung jawab sosial. Padahal dalam konteks pendidikan Indonesia yang berakar pada nilai-nilai Pancasila dan ajaran agama, menghormati guru merupakan bagian penting dari adab dan moralitas pendidikan yang menjadi dasar keberkahan ilmu.

Untuk mengatasi persoalan tersebut, guru perlu mengambil langkah-langkah yang tidak hanya bersifat menghukum, tetapi juga mendidik dan membangun kesadaran siswa. Langkah pertama adalah mengenali penyebab munculnya perilaku negatif, apakah karena kebosanan, masalah pribadi, atau kurangnya tantangan akademik. Dengan memahami latar belakang siswa, guru dapat menyesuaikan pendekatan agar lebih sesuai dengan kebutuhan mereka. Langkah berikutnya adalah membangun hubungan personal yang baik dengan siswa, dengan cara mengenal minat, gaya belajar, dan kepribadian mereka sehingga proses pembelajaran menjadi lebih menarik dan relevan. Hal ini sejalan dengan pandangan Uno yang menyatakan bahwa pendekatan pembelajaran yang berorientasi pada kebutuhan siswa dapat meningkatkan partisipasi dan mengurangi perilaku negatif dalam kelas. Selain itu, pembuatan aturan kelas bersama siswa juga menjadi strategi efektif untuk menciptakan rasa tanggung jawab bersama terhadap suasana belajar. Dengan demikian, siswa merasa memiliki peran dalam menjaga ketertiban dan kenyamanan kelas.

Guru juga perlu memberikan konsekuensi yang mendidik, bukan sekadar hukuman yang mempermalukan siswa. Misalnya, siswa yang mengganggu pelajaran dapat diberi tanggung jawab tambahan seperti membantu guru dalam menyiapkan alat pembelajaran, sehingga mereka belajar tentang tanggung jawab dan kerjasama. Pemberian penghargaan terhadap perilaku positif juga penting untuk menumbuhkan motivasi intrinsik siswa agar berperilaku baik. Guru dapat memberikan apresiasi kecil seperti pujian, poin keaktifan, atau penghargaan bagi siswa paling sopan dan disiplin setiap bulan. Di sisi lain, kerjasama antara guru, konselor, dan orang tua juga menjadi kunci keberhasilan dalam menangani perilaku siswa. Dengan pendekatan kolaboratif, masalah dapat diselesaikan secara menyeluruh dari aspek akademik, psikologis, maupun sosial.

Pada akhirnya, perilaku tidak beretika di kelas bukan sekadar masalah disiplin, tetapi merupakan cerminan dari lemahnya pendidikan karakter di kalangan siswa. Guru memiliki peran strategis dalam membentuk kembali kesadaran moral dan etika belajar melalui keteladanan, komunikasi yang humanis, serta pendekatan yang berpusat pada pengembangan karakter. Pendidikan yang sejati bukan hanya bertujuan menciptakan siswa yang cerdas secara intelektual, melainkan juga berakhlak mulia, santun terhadap guru, dan menghormati proses belajar sebagai bagian dari pembentukan kepribadian. Dengan sinergi antara guru, siswa, dan lingkungan sekolah, diharapkan perilaku tidak beretika dapat diminimalisir, dan suasana pembelajaran yang beradab serta bermartabat dapat kembali terwujud di dunia pendidikan Indonesia.

Share this Post